Pages

JALMA MARA , JALMA MATI

Jagat iki ana, ana kang jaga !” aku isih eling marang kandhamu, tatkalane lemah dadi kawahing antarane suroboyo medion banjur krasa ana kang gosong ing batin batin panguripku, ngegirisi marang daya lantipkukaya gosonge areng klapa kang wus ilang wawakaya jasad kang limpad kelangan nyawa... .

KU INGIN BERSAMAMU

Aku ingin bersamamu tiap pagi meskipun aku tak pernah tahu dimana kamu Aku ingin bersamamu hingga senja datang meskipun ternyata malam telah larut.. Untuk bersamamu aku ingin kan semua.. Kepingan demi kepingan hati yang kau bawa serta bersamamu

Aku ingin pulang

Aku ingin pulang bersama kehidupan bersama bidadari surgawi berparas segar lalu menyaksikan lagi burung-burung dengan guraunya merangkai sarang bagi rumah aku ingin pulang ke rumah hatiku sebab seruan hidup di pintunya dimana pagarnya kembang lihatlah kupu-kupunya

PENANTIANKU

Sepoi angin menembus badan menyusup disela-sela rambut hitamku deru ombak berhantam menerka seakan tau isi hatiku yang gundah Mengapa kau pergi jauh ke sana meninggalkan untaian kenangan manis membiarkan diriku terselimut sepi hampa sendiri tanpa bayangmu lagi Mengapa ini semua terjadi kau biarkan linangan air mataku terjatuh menangisi dirimu yang berkelana pergi menilnggalkanku seorang diri

LELAYARAN ING KATRESNAN

kamangka sliramu wis ngentirake gegayuhanku mbaka sithik tumekaning gisiklelayaran ing katresnan nyabrangi reribed sadhengah wayah wani nglangkahi telenging pepeteng tanpa maelu sakabehing gubrahyagene praumu durung miwiti anggone nglari nakodaning ati sawise kelakon nggayuh sunare pituduh madhangi katresnan iki tumekaning subuh .

Wednesday 16 February 2011

Pangajab



Atimu kang wingit mara selehna ing dhadhaku,
atimu kang wengis mara tumpangna ing tanganku.
Priya kang tansah ngulandara mara nyedhaka,
ing tanganku tumetes anyesing banyu sih sutresna.
Angin bengi angining pangayoman,
mara nyedhaka ing samubarang tumandukmu.
Priya kang tansah ngulandara,
ing kene ana halte pungkasan.


(Napsiah Sastrasiswaja, Djaja Baja: XVIII No. 28, 16)

Kawruh





Saliring kodrat kang tinon mripat,
Apa dene kang tan kasat mata,
Kabeh tumindak miturut sipat,
Garis angger-anggering jagad raya.

Wit lumrahing janma neng jagad,
Tan sepi anane para sarjana,
Rina lan wengi tan kendhat-kendhat,
Marsudi angering tribawana.

Sarana pakarti lawan samadi,
Sanityasa ngetog mangulir budi,
Wohing pamardi tinatata titi.

Ginelar ing kandha sarwa teteh,
Murih gampang katampa akeh,
Murakabi uripe janma kabeh.
 


(Intojo, Kejawen. XVI, 1941)




Cobaning Urip


Jroning urip aku nate ngalami
lelakon kang gawe ngunguning ati
Ana sawijining paraga
temene aku ora nate kandha
uga ora nulak sihing sapadha-padha
nanging ya gene ora kuwawa nampa
Isining ati kawedharake marang aku sawiji
apa aku ora andarbeni
rasa nyawiji
aku ora ngerti . . . .
Apa dadine
kanyatan ora marengake
lan aku tansah percaya
yen kuwi mung sawenehing coba
Urip kuwi mung saderma
dadi pelaku ing madyapada.

(Cece atmaja, Panjebar Semangat. XLIII No 34:14)

(dening Subalidinata)


Kalebu ing Kategori KA-WRUH: Geguritan

KUMPULAN CERITA BIJAK

                                 


SUKSES

Di sebuah sebuah sekolah, seorang guru mendapat pertanyaan dari salah seorang
muridnya yang paling kritis. “Guru, apakah kami semua nanti bisa
sukses?” Sang guru tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tak lama, ia
mengeluarkan uang senilai seratus ribu dari kantongnya. “Hayoo, siapa
yang mau uang ini?” Semua anak berebutan mengacungkan tangannya.
Uang senilai itu bagi mereka sangat besar. Tiba-tiba, sang guru melipatlipat
dan meremas uang itu hingga kucel dan tidak karuan bentuknya. Ia
pun berujar lagi, ”Hayoo, siapa yang mau uang ini?” Walaupun merasa
heran dengan kelakuan gurunya, murid-murid tidak peduli, mereka
kembali mengacungkan jarinya, sambil berteriak ”Saya..saya..saya..”
Semua serempak mengajukan diri untuk mendapatkan uang itu. Melihat
antusiasme muridnya, sang guru kemudian menjatuhkan uang tersebut
ke lantai dan menginjak-injak uang itu hingga kecil, tidak karuan dan
kotor. Mendapati gurunya melakukan hal itu pada uang tersebut,
sebagian murid melongo. Mereka tak tahu apa maksudnya sang guru
menginjak-injak uang yang nilainya sangat besar bagi mereka itu. Guru
pun kembali bertanya, ”Hayoo, siapa yang masih menginginkan uang
ini?” Ternyata, meski uang itu menjadi jelek, kumal dan bahkan
bercampur sedikit lumpur yang berasal dari injakan sepatu guru, masih
banyak murid yang antusias mendapatkan uang tersebut. ”Aku
guru..aku..” ”Kalian tetap saja mau dengan uang ini? Kalian tidak
melihat betapa uang ini sangat kucel, jelek, kumal dan bau?” ”Jelek itu
kan hanya bentuknya saja guru. Tetapi saja uang itu nilainya seratus
ribu,” jawab murid-murid yang tetap antusias meminta gurunya
memberikan uang itu. Sang guru pun kemudian berujar, ”Kalian benar.
Meskipun sudah tidak karuan bentuknya, uang itu tetap berharga dan
kalian tetap ingin memilikinya. Nah, jika tadi ada pertanyaan, apakah
semua bisa sukses? Jawabannya sama seperti nilai uang ini. Dalam proses
menuju ke arah kesuksesan, kalian pasti akan mengalami berbagai ujian
dan cobaan, mungkin mengalami jatuh, diinjak, dan dilecehkan.
Walaupun begitu, nilai diri kalian tidak akan berubah. Semua tergantung
kalian sendiri, bisa menjaga nilai yang ada dalam diri kalian atau tidak.
Jika kalian mampu menghargai diri sendiri dan menentukan nilai diri,
dengan keyakinan, kerja keras dan semangat pantang menyerah, maka
sukses pasti kalian dapatkan.” Tak peduli berbagai ujian, cobaan,
halangan, dan tantangan yang menghadang, jika kita punya satu nilai
dalam keyakinan dalam diri, bahwa sukses adalah hak saya, maka jalan
kesuksesan pasti akan selalu terbuka. Karena itu, seberat apapun
perjuangan yang kita lakukan, seganas apapun padang gurun yang kita
harus lewati, setinggi apapun gunung yang akan kita daki, seluas apapun
samudra yang kita seberangi, tetaplah pelihara semangat ”Success is my
right!” Tanamkan dalam diri, dan teruslah bekerja keras untuk
mewujudkan semua mimpi. Harta tak ternilai itu ada dalam diri Anda.
Perjuangkan!!!

Disadur dari www.andriewongso.com


KEHIDUPAN

Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka.
Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang
membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya. ”Om beli bunga
Om.” ”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk
.dengan laptopnya. ”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih
atau istri Om,” rayu si gadis kecil. Setengah kesal dengan nada tinggi
karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil
tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om
akan beli bunga dari kamu.” Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil
itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe
itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya, si pemuda segera beranjak
dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil
penjual bunga yang kembali mendekatinya. ”Sudah selesai kerja Om,
sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.”
Bercampur antara jengkel dan kasihan si pemuda mengeluarkan
sejumlah uang dari sakunya. ”Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak
mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda
sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil. Uang itu
diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada
pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana. Pemuda itu
keheranan dan sedikit tersinggung. ”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil,
malah kamu berikan kepada pengemis?” Dengan keluguannya si gadis
kecil menjawab, ”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa
saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari
meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang
kita tidak bolah menjadi pengemis.” Pemuda itu tertegun, betapa ia
mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil
bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa
tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah
kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan
membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena
semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran
berharga hari itu. Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada
uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi
kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan,
jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada
manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur
akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangan.

Disadur dari www.andriewongso.com



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More