Pages

JALMA MARA , JALMA MATI

Jagat iki ana, ana kang jaga !” aku isih eling marang kandhamu, tatkalane lemah dadi kawahing antarane suroboyo medion banjur krasa ana kang gosong ing batin batin panguripku, ngegirisi marang daya lantipkukaya gosonge areng klapa kang wus ilang wawakaya jasad kang limpad kelangan nyawa... .

KU INGIN BERSAMAMU

Aku ingin bersamamu tiap pagi meskipun aku tak pernah tahu dimana kamu Aku ingin bersamamu hingga senja datang meskipun ternyata malam telah larut.. Untuk bersamamu aku ingin kan semua.. Kepingan demi kepingan hati yang kau bawa serta bersamamu

Aku ingin pulang

Aku ingin pulang bersama kehidupan bersama bidadari surgawi berparas segar lalu menyaksikan lagi burung-burung dengan guraunya merangkai sarang bagi rumah aku ingin pulang ke rumah hatiku sebab seruan hidup di pintunya dimana pagarnya kembang lihatlah kupu-kupunya

PENANTIANKU

Sepoi angin menembus badan menyusup disela-sela rambut hitamku deru ombak berhantam menerka seakan tau isi hatiku yang gundah Mengapa kau pergi jauh ke sana meninggalkan untaian kenangan manis membiarkan diriku terselimut sepi hampa sendiri tanpa bayangmu lagi Mengapa ini semua terjadi kau biarkan linangan air mataku terjatuh menangisi dirimu yang berkelana pergi menilnggalkanku seorang diri

LELAYARAN ING KATRESNAN

kamangka sliramu wis ngentirake gegayuhanku mbaka sithik tumekaning gisiklelayaran ing katresnan nyabrangi reribed sadhengah wayah wani nglangkahi telenging pepeteng tanpa maelu sakabehing gubrahyagene praumu durung miwiti anggone nglari nakodaning ati sawise kelakon nggayuh sunare pituduh madhangi katresnan iki tumekaning subuh .

Monday 16 July 2012

Pitutur Urip Wong Jawa

Dagang Tuna Andum Bathi
Artinya, dagang tuna (berdagang rugi), andum bathi (membagi laba). Makna peribahasa ini menggambarkan orang yang melakukan kebaikan secara tidak langsung, tetapi melalui orang lain. Pertanyaannya, mengapa kebaikan itu tidak disampaikan secara langsung? Atau mengapa kebaikan tersebut harus disembunyikan, atau disampaikan lewat orang lain?

Ada banyak kemungkinan untuk menjelaskan mengapa perbuatan itu dilakukan. Umumnya, karena ingin menjaga perasaan maupun harga diri orang yang diberi kebaikan tadi. Kemungkinan yang kedua, lantaran seseorang tidak ingin diketahui telah memberikan kebaikan atau pun bantuan kepada orang lain.

Sifat ini merupakan salah satu sifat terpuji di Jawa. Artinya, memberikan bantuan kepada orang lain dengan ikhlas, tanpa mengharapkan puji sanjung atau pamrih sama sekali. Diri pribadinya pun benar-benar tidak ingin ditonjolkan. Maksud dan tujuannya semata-mata hanya memberi, membantu meringankan beban seseorang. Dalam patembayatan hidup di Jawa, pemberian seperti itu tidak boleh dianggap sebagai hutang. Kapan-kapan, pihak yang diberi pun boleh membalas kebaikan tersebut, namun jangan sekali-kali memaknainya sebagai “membayar hutang”. 


Kencana Waton Wingka
Artinya, emas berlian tampak bagai pecahan gerabah. Sindiran terhadap orang yang menganggap baik anak sendiri, namun selalu menjelek-jelekkan anak orang lain. Pendapat demikian sangat dipengaruhi sudut pandang subjektif seseorang. Misalnya, perasaan senang dan tidak senang di dalam hatinya. Apabila suasana hati sedang senang, maka sesuatu yang buruk akan kelihatan baik. Sebaliknya, jika hati sedang tidak senang atau bahagia, sebaik apa pun yang ada di hadapannya akan dianggap sebagai hal yang buruk.

Makna peribahasa tersebut lazimnya akan mengungkap ketika kita mendengar orang tua yang memuji anaknya setinggi langit, tetapi merendahkan anak orang lain tanpa kompromi. Misalnya, meskipun anaknya hanya memperoleh peringkat kedelapan di kelas, tetap saja anaknya dipujinya. Tetapi, anak tetangga yang berhasil meraih peringkat pertama, tetap saja disepelekan, hanya karena bersekolah di lembaga pendidikan swasta, sedangkan anaknya duduk di sekolah negeri


Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga
Artinya, curiga manjing warangka (keris masuk sarungnya), warangka manjing curiga (karung keris masuk kerisnya). Peribahasa ini merupakan gambaran dari cita-cita ideal tentang hubungan pemimpin dengan raknyatnya di Jawa. Dimana pemimpin memahami aspirasi rakyat dan mau menyantuni mereka dengan baik, sehingga rakyat bersedia mengabdikan diri dengan ikhlas kepada sang pemimpin.

Hakikatnya, pemimpin memang harus menjaga, mengayomi, menata, dan menghidupkan semangat rakyat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, rakyat pun harus bersedia “mengabdikan diri” kepada pemimpin, dengan cara melaksanakan segala kebijakannya, sehingga terjadi harmonisasi dalam tata kehidupan masyarakat.

Dalam konteks ungkapan tersebut, pemimpin dilambangkan sebagai keris yang dimasukkan ke dalam sarungnya (masyarakat yang dipimpin). Dengan demikian, tentu akan bermasalah jika keris terlampau panjang atau sarungnya terlalu pendek. Akan tidak masuk juga ketika keris terlampau besar atau sarungnya begitu kecil, dan selanjutnya. Demikian pula hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Kehidupan di sana akan senantiasa dirundung masalah jika terjadi ketidaksesuaian, ketidakserasian, perbedaan sikap, pendapat, pikiran, serta orientasi dari masing-masing pihak.

 
Kacang Mangsa Ninggala Lanjaran
Artinya, kacang (kacang panjang), mangsa ninggala lanjaran (tidak mungkin meninggalkan turus tempatnya merambat). Maknanya, kacang panjang tidak bisa tumbuh dan berbuah dengan baik tanpa merambat peda turus tempatnya memanjat. Apabila dibiarkan, tumbuhnya akan melata di tanah, sehingga pembungaan dan pembuahannya kurang sempurnya.

Peribahasa tersebut menggambarkan perangai atau perilaku anak yang berkonotasi buruk, serta mirip (meniru) orang tuanya yang juga memiliki sifat serupa. Misalnya, dulu ayahnya penjudi dan pencuri. Sekarang, anaknya juga suka bermain judi dan mencuri sejak kecil. Orang tuanya berangasan, suka berkelahi, dan mau menang sendiri, maka anaknya pun mempunyai tabiat yang sama dengan orang tuanya. Sejak kecil, anak itu terkenal nakal, sering bertengkar saat merebut mainan teman-temannya. Seandainya keinginannya tidak terpenuhi, ia pasti mengadu kepada orang tuanya untuk mendapatkan bantuan dan pembelaan.

Bagi yang tanggap, peribahasa ini dapat dijadikan cermin peringatan. Misalnya, dulu orang tua punya sifat atau perilaku yang kurang baik, maka si anak harus berusaha menghindari perbuatan seperti itu, agar tidak dianggap layaknya kacang mangsa ninggala lanjarane. Asalkan berusaha dengan sungguh-sungguh, ia tentu akan menuai hasilnya. 
 
Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman
Artinya, adedamar (menerangi dengan pelita), tanggal pisan (tanggal satu atau tanggal muda), kapurnaman (diterangi sinar bulan purnama). Jika diterjemahkan secara bebas adalah semula akan menggunakan pelita karena masih gelap, namun tiba-tiba malam menjadi terang karena disinari bulan purnama.

Peribahasa ini menggambarkan orang yang bertikai dan salah satu pihak mengadukan pihak lain ke pengadilan. Namun, beberapa waktu kemudian, perkara itu dibatalkan karena yang bersangkutan memperoleh kesadaran, lebih baik perkara itu diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.

Sebagai contoh, ada dua orang bersaudara kandung yang bertengkar memperebutkan harta warisan dari orang tua mereka. Lantaran tidak ada surat waris, dan masing-masing tidak mau mengalah, maka keduanya sepakat menggunakan jalur hukum untuk memperoleh keputusan. Namun, kemudian keduanya disadarkan oleh petunjuk seorang ulama, bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan bagaimana cara membagi warisan yang adil menurut Islam. Akhirnya, mereka memilih damai dan membagi warisan tersebut sesuai dengan hukum waris agama yang dianut.

                                                    Sumber : http://bocahe.blog.com

Pitutur Urip Wong Jawa

Aja Nguthik-uthik Macan Turu
Artinya, aja nguthik-uthik (jangan mengusik), macan turu (harimau tidur). Di Jawa, harimau sering digelari raja hutan. Tentu saja, sebutan “raja” tersebut merupakan kiasan atau padanan. Sebab, “kekuasaan” yang diperoleh bukan karena kebijakan, kearifan, dan kepemimpinannya yang baik, melainkan karena sifat perbuatannya yang dinilai kejam, pemangsa binatang lain, gampang marah, buas, liar, dan selanjutnya. Karena itulah, orang yang memiliki sifat seperti itu lazim disamakan dengan macan atau harimau.

Orang bertabiat buruk sebagaimana harimau pada umumnya ditakuti karena setiap saat dapat membuat onar dan membahayakan orang lain. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya dia dibiarkan tenteram (asyik dengan dunianya sendiri), jangan sampai angkaran murkanya kambuh. Manakala yang bersangkutan sedang “tidur” (tabiat buruknya hilang untuk sementara), sekali-kali jangan diganggu atau dibangunkan (dipancing dengan masalah) karena dikhawatirkan sifat buruknya muncul mendadak, sehingga membuat kekacauan dan keributan di mana-mana.


Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan
Artinya, dudu sanak (bukan saudara), dudu kadang (bukan kerabat), yen mati (kalau meninggal), melu kelangan (ikut kehilangan). Peribahasa ini merupakan gambaran mengenai eratnya sistem kekerabatan di Jawa, dimana semua warga dihargai tanpa membeda-bedakan keturunan maupun hubungan darah yang ada. Meskipun orang lain, kalau yang bersangkutan mau menyatu atau membaur, maka mereka akan menghargai dan menganggapnya seperti keluarga sendiri.

Orang Jawa memiliki semangat persaudaraan yang tinggi. Semangat itu membuat mereka mudah bergaul, menjalin persahabatan dengan siapa saja. Sebab, persaudaraan (patembayatan) merupakan cara yang ideal untuk menemukan ketenteraman hidup. Di Jawa, menghormati orang lain (misalnya, tamu) sangatlah diutamakan. Terlebih jika sosok itu telah berjasa. Menghormatinya pun akan diwujudkan dengan bermacam cara, sekaligus menjadi manivestasi balas budi kepada sang pemberi jasa. Karena itulah, ketika sosok yang sangat dihormati dan dihargai itu meninggal, mereka akan benar-benar berduka dan merasa sangat kehilangan. Bahkan, terkadang lebih berduka daripada ketika menghadapi kematian sanak kerabat sendiri.
 
Agama Ageming Aji
Artinya, agama (agama), ageming aji (busana berharga). Peribahasa ini lahir dari kepercayaan batin yang dilandasi rasa ketuhanan orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan di dalam hidupnya. Dalam pandangan orang Jawa, agama bukan hanya dipahami dalam tataran rasio atau kognitif saja, melainkan harus diyakini hingga menyentuh hati dan diamalkan dalam setiap perbuatan. Karena itulah, agama lebih sebagai ageman (busana atau pakaian). Sedangkan yang disebut dengan aji di sini merupakan simbolisasi dari raja, atau pemegang tampuk kekuasaan negara. Bagi seorang pemimpin, dalam menjalankan roda pemerintahannya diharapkan selalu berpedoman pada nilai ajaran agama. Atau, dengan kata lain, seluruh kebijakannya harus berpedoman pada nilai-nilai agama yang dianut rakyat.

Dengan bertindak seperti itu, sang pemimpin akan terbebas dari perbuatan negatif yang bertentangan dengan agama, maupun yang menyengsarakan masyarakat luas. Prinsipnya, orang Jawa menghendaki pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin umat beragama. Mengapa demikian? Karena, seorang pemimpin yang agamis selalu bertindak berlandaskan ajaran agama dalam menyantuni banyak kalangan. Dengan berbuat demikian, ia menjadi pantas diaji-aji, diajeni, diahargai atas kebijaksanaannya yang dapat diterima oleh agama serta rakyatnya


Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara
Artinya, bener ketenger (benar ditandai), becik ketitik (baik terbukti), ala ketara (buruk kelihatan sendiri). Peribahasa ini menjadi anjuran agar siapa saja tidak takut untuk berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya nanti pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan, manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.

Peribahasa ini mengingatkan bahwa semua perbuatan – baik yang benar, baik, mau pun buruk – akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Misalnya, berbuat baik kepada orang lain dan telah lama ia tidak membalasnya, maka jangan sekali-kali mengeluh atau merasa kecewa. Sebab, balasan tersebut dapat datang dari mana saja. Bisa jadi datang dari orang lain. Atau, jatuh kepada anak cucu kita.

Siapa pun yang mempunyai niat jelek, sebaiknya mengurungkan niat tersebut. Artinya, jangan gampang melakukan perbuatan buruk, tercela, atau merugikan pihak lain. Di samping hanya akan menghasilkan dosa, jika perbuatan buruk tersebut ketahuan, tentu akan menimbulkan rasa malu yang tak terkira bagi pelakunya. Salah-salah, dia pun selamanya akan dicap sebagai pencuri, tidak lagi dipercaya, dan setiap tindak tanduknya selalu dicurigai oleh masyarakat di lingkungannya.

Darbe Kawruh Ora Ditangkarake, Bareng Mati Tanpa Tilas
Artinya, darbe kawruh (mempunyai pengetahuan), ora ditangkarake (tidak dikembangkan atau diamalkan), bareng mati tanpa tilas (setelah meninggal tiada bekas). Peribahasa ini menekankan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Karena, dengan ilmu pengetahuan itulah, mereka dapat membangun peradaban kehidupan yang lebih baik.

Di samping itu, masyarakat tradisional (seperti di Jawa) juga memiliki kepercayaan bahwa ilmu itu sesungguhnya milik Allah, dan manusia hanya sekadar nggaduh (dipinjami) untuk digunakan sebaik-baiknya bagi kemaslahatan umat manusia. Sebab, ilmu tersebut bukan hanya berguna bagi seseorang, tetapi sangat diperlukan oleh jutaan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, setiap orang yang berilmu, seyogianya membagi ilmu pengetahuannya kepada orang lain, jangan disimpan untuk diri sendiri saja. Dengan mengamalkan ilmu, seseorang akan memperoleh pahala dan ucapan terima kasih dari banyak orang.

Sebaliknya, jika ilmu itu digenggam sendiri, sama halnya tidak mempunyai tanggung jawab kepada Allah atas pinjaman yang diberikan kepadanya. Apabila kelak dirinya meninggal, orang tidak akan menghargainya karena yang bersangkutan juga tidak pernah memberikan kebaikan (jasa) kepada masyarakat luas.

Lambe Satumang Kari Samerang
Artinya, lambe satumang (bibir setebal tumang atau bibir tungku dapur), kari samerang (tinggal sebatang padi). Peribahasa ini sering dijadikan ungkapan oleh orang tua ketika nasihatnya tidak diperhatikan sama sekali oleh anak-anaknya. Bibir setebal tumang merupakan perlambang bahwa pada mulut orang tua terdapat banyak nasihat yang baik. Sementara itu, bibir tinggal setebal batang padi menjadi kiasan bagi orang tua yang telah kehabisan nasihat bagi anak-anaknya.

Peribahasa ini dahulunya sering digunakan untuk melampiaskan kejengkelan orang tua ketika nasihatnya dianggap angin lalu. Seluruh nasihat seperti masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri atau sebalinya. Semua hanya lewat tanpa ada satu pun yang singgah di kepala si anak. Nasihat tersebut berhenti hanya sebatas kata-kata saja tanpa ada perubahan yang baik pada diri si anak.

Di Jawa, sering terdengar kalimat “nggah nggih nggah nggih ora kepanggih”. Cuma menjawa “ya” saja tapi nasihat atau pekerjaan atau tugasnya tidak dilaksanakan sama sekali. Ketika disuruh untuk belajar, anak selalu menghindar. Diajari bekerja, begitu orang tuanya lengah, si anak justru main ke rumah temannya sampai sore. Padahal usianya menjelang remaja. Biasanya untuk menyingkirkan kemampatan bathin, orang tua sering menggerutu dengan “Bocah kok ngentekake lambe! Lambe satuman kari samerang”.

 
Kebo Nyusu Gudel
Artinya, kerbau menyusu kepada anaknya (gudel, Jawa). Peribahasa ini menggambarkan situasi dimana orang tua mau tidak mau harus belajar, atau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Anak, dalam konteks peribahasa tersebut, dapat diartikan sebagai kaum muda. Dengan kata lain, orang tua yang seharusnya mengasuh dan menghidupi anaknya kini terbalik harus menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya.

Contoh baiknya, jika ada orang tua yang benar-benar menghabiskan (menjual) harta bendanya untuk menyekolahkan anak. Maka setelah si anak selesai menempuh pendidikannya hingga perguruan tinggi kemudian bekerja, mau tidak mau si orang tua terpaksa ikut anaknya karena sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi. Seluruh kebutuhan hidupnya akhirnya pun ditanggung oleh anak.

Contoh jeleknya, jika ada orang tua yang menghabiskan harta bendanya untuk memburu kesenangan duniawi semata untuk berfoya-foya dan sebagainya, akibatnya di hari tua dia terpaksa “numpang hidup” kepada anaknya.

Contoh lainnya adalah, di jaman sekarang ini, teknologi berkembang dengan pesatnya. Maka yang mudalah yang mampu menguasai teknologi tersebut sehingga banyak para generasi tua harus belajar teknologi yang baru dan canggih kepada para kaum muda.

Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni
Artinya, blilu tau (bodoh pernah), pinter durung nglakoni (pandai belum mengalami). Bila diterjemahkan secara bebas adalah pernah menjadi si bodoh tetapi belum pernah menjadi si pandai. Ungkapan ini merupakan gambaran dari orang yang tidak pandai dalam hal teori, tetapi cukup ahli (terampil) dalam mengerjakan sesuatu hal karena sudah berpengalaman. Contoh dari peribahasa ini adalah seorang petani. Jika diperhatikan, jarang petani yang ada di pedesaan yang berpendidikan tinggi. Tetapi, semuanya mampu bertani, bercocok tanam, dan beternak. Semuanya mereka lakukan dengan cukup andal. Dari mana ilmu pertanian (bertani) itu didapat.

Jawabannya cukup sederhana, yaitu dari pengalaman. Dari praktik keseharian sambil memperhatikan dan meniru bagaimana orang tua, saudara, atau tetangga melakukan pekerjaan tersebut. Pesan utama dari peribahasa ini adalah jangan takut mencoba mengerjakan segala sesuatu meskipun belum memiliki teori yang cukup. Artinya, memahat kayu, mencangkul sawah, dan sebagainya adalah bukan pekerjaan yang sulit. Dengan banyak mencoba dan tidak banyak keraguan kemudian mengerjakannya seperti orang lain melakukannya maka akan terampil juga. Asalkan berhati-hati, tekun, telaten, dan pantang menyerah. Memang, dalam hal ilmu, petani kalah dengan sarjana pertanian. Namun dengan pengalamannya, untuk menghasilkan padi, palawija, dan sayuran, keterampilan para petani dapat diandalkan.
 

Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
Artinya, desa mawa cara (desa mempunyai adat sendiri), negara mawa tata (negara memiliki tatanan, aturan, atau hukum tertentu). Peribahasa tersebut memuat inti dari pandangan kalangan tradisional Jawa yang menghargai adanya pluralitas dengan segala perbedaan adat kebiasaannya. Kaitannya dengan pandangan ini, desa telah membentuk kebiasaan (angger-angger) untuk lingkungan sendiri yang cenderung lebih lentur. Sementara negara memang memerlukan hukum atau peraturan yang lebih tegas, namun bersumber pada adat-istiadat yang tumbuh berkembang di masyarakat.

Peribasaha ini juga mengingatkan kepada para pendatang yang tinggal di daerah lain. Di mana pun berada, seseorang harus pandai-pandai memahami, menghormati, dan menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat. Seperti peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mana yang disetujui digunakan, mana yang tidak disepakati jangan diterapkan. Meskipun demikian, janganlah melecehkan nilai-nilai yang tidak disetujui, terlebih bermaksud mengubahnya secara drastis. Sebab, perbuatan tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan pihak lain yang berujung pada konflik yang tidak diiginkan.

Kebo Kabotan Sungu
Artinya, kerbau keberatan tanduk. Peribahasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang tua yang terlalu berat menanggung beban hidup karena terlampau banyak anak.

Di masa lalu, banyak pasangan suami istri di Jawa yang memiliki anak lebih dari lima, dengan alasan banyak anak banyak rejeki. Namun, yang terjadi sebaliknya. Dengan penghasilan pas-pasan maka beban hidupnya semakin berat sehingga anak-anaknya yang masih kecil harus keluar dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan perekonomia keluarga. Sesuai dengan kodratnya, kerbau hanya mempunyai dua tanduk. Bisa dibayangkan bila mempunyai empat tanduk atau lebih, maka dia akan menderita karena berat tanduk yang berlebihan itu. Demikian juga dengan manusia, apabila jumlah anaknya banyak maka beban hidupnya juga semakin berat. 

Sumber : http://bocahe.blog.com/

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More