Setiap kali Putri melakukan kesalahan, sang ibu berusaha memberitahu dan menasihati. Tapi, bukannya mendengar dan mencoba berubah, Putri malah sering menunjukkan perasaan jengkel, sebal, dan marah-marah tak karuan. Tak jarang ia juga berani membantah sambil berkata, "Uuh, ibu cerewet. Benar-benar nggak sayang sama aku. Aku kan sudah besar, kenapa masih diomelin melulu setiap aku melakukan kesalahan? Padahal, salah itu kan biasa. Belum lagi tugas membersihkan rumah tiap sore, kapan dong waktu untuk main?"
Beberapa hari ini, Putri tidak mau menyapa ibunya. "Untuk apa bicara sama ibu kalau hanya menjadi sumber pertengkaran?" Itu yang ada dalam benak Putri. Sang ibu yang bijaksana hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah anaknya.
Ketika menjelang hari Minggu, Putri berencana pergi bersepeda pagi-pagi bersama dengan teman-temannya. Tetapi Putri tahu, ia tidak akan pernah bisa bangun sepagi itu. Mau tidak mau, ia harus minta bantuan sang ibu membangunkannya. Sebab, hari Minggu ini Putri hanya berdua dengan ibu di rumah karena ayah sedang tugas ke luar kota. Tapi, Putri masih merasa jengkel dengan ibunya dan belum mau menyapa ibunya. "Ihhh... maaf ya. Belum saatnya menyapa ibu, hati ini masih jengkel," batin Putri.
Akhirnya, Putri mendapat sebuah ide. Malam hari menjelang tidur, putri menulis pesan pada secarik kertas dan meletakkannya di meja kamar tidur ibunya. "Ibu, besok Putri akan pergi bersepeda bersama dengan teman-teman. Tolong bangunkan jam setengah enam pagi ya," tulis Putri dalam kertas itu. Setelah menulis di kertas, dia berangkat tidur dengan nyenyak.
Keesokan hari, saat terbangun, Putri terkejut melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan ia pun ditinggal teman-temannya. Ia membatin, betapa jahat ibunya. Putri merasa ibunya tidak menyayanginya, sebab, ia merasa sudah minta tolong kepada ibu untuk membangunkannya lebih pagi.
Saat marah-marah, mata Putri tertuju pada secarik kertas di atas meja kamarnya. Ia segera membaca tulisan itu. "Selamat pagi Putri, ayo bangun! Ini sudah jam setengah enam pagi. Tertanda: ibu." Putri pun tersadar dan merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia berjanji, tidak akan mengulangi lagi kesalahan dan akan lebih menghormati ibunya.
Netter yang budiman,
Ada pepatah bijak mengatakan surga ada di bawah telapak kaki ibu. Sebab, dari rahimnyalah kita dilahirkan. Sembilan bulan lebih ibu membawa kita dalam kandungannya tanpa keluhan dan tanpa harap balasan. Namun, seringkali kita justru berbuat yang kurang berkenan kepada ibu.
Kadang, saat ibu menasihati, kita merasa ibu sok tahu. Kalau ibu sudah capek-capek memasak makanan untuk kita, tanpa rasa bersalah kita sisakan banyak makanan di piring. Kalau ibu menyapa dan bertanya siapa kekasih kita, kadang kita jawab agar ibu jangan suka ikut campur. Padahal, sadarkah betapa besar kasih dan kepedulian seorang ibu bagi kita? Untuk itu kita perlu menyadari bahwa dalam setiap sapaan ibu, dan bahkan saat beliau marah, itu adalah wujud kasih sayang yang terbesar bagi kita.
Pepatah menyebutkan, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah. Di lubuk hati seorang ibu, selalu tersedia maaf bagi kesalahan yang diperbuat putra putrinya, sengaja ataupun tidak. Karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai anak harus menunjukkan bakti kita kepada ibu meski ia tak pernah mengharap balasan apapun. Jadi, sudahkah kita berbuat sesuatu untuk ibu kita? Atau, minimal, sudahkan kita ucapkan terima kasih dan cinta kepada ibu kita hari ini?
Sumber : http://m.andriewongso.com/artikel/