Pages

JALMA MARA , JALMA MATI

Jagat iki ana, ana kang jaga !” aku isih eling marang kandhamu, tatkalane lemah dadi kawahing antarane suroboyo medion banjur krasa ana kang gosong ing batin batin panguripku, ngegirisi marang daya lantipkukaya gosonge areng klapa kang wus ilang wawakaya jasad kang limpad kelangan nyawa... .

KU INGIN BERSAMAMU

Aku ingin bersamamu tiap pagi meskipun aku tak pernah tahu dimana kamu Aku ingin bersamamu hingga senja datang meskipun ternyata malam telah larut.. Untuk bersamamu aku ingin kan semua.. Kepingan demi kepingan hati yang kau bawa serta bersamamu

Aku ingin pulang

Aku ingin pulang bersama kehidupan bersama bidadari surgawi berparas segar lalu menyaksikan lagi burung-burung dengan guraunya merangkai sarang bagi rumah aku ingin pulang ke rumah hatiku sebab seruan hidup di pintunya dimana pagarnya kembang lihatlah kupu-kupunya

PENANTIANKU

Sepoi angin menembus badan menyusup disela-sela rambut hitamku deru ombak berhantam menerka seakan tau isi hatiku yang gundah Mengapa kau pergi jauh ke sana meninggalkan untaian kenangan manis membiarkan diriku terselimut sepi hampa sendiri tanpa bayangmu lagi Mengapa ini semua terjadi kau biarkan linangan air mataku terjatuh menangisi dirimu yang berkelana pergi menilnggalkanku seorang diri

LELAYARAN ING KATRESNAN

kamangka sliramu wis ngentirake gegayuhanku mbaka sithik tumekaning gisiklelayaran ing katresnan nyabrangi reribed sadhengah wayah wani nglangkahi telenging pepeteng tanpa maelu sakabehing gubrahyagene praumu durung miwiti anggone nglari nakodaning ati sawise kelakon nggayuh sunare pituduh madhangi katresnan iki tumekaning subuh .

Saturday 7 December 2013

Pengertian Malam Satu Suro di Jawa

Malam 1 Suro Bagi Masyarakat Jawa 
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.
Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.
Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.

Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro.

Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri.

Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
Sumber ; http://suratz.blogspot.com

WAHYU PANCASILA

Sebuah Bahan Renungan Perjalanan Bangsa

Oleh :
K.R.T.H. RONO HADINAGORO

 

ENAM PULUH DELAPAN TAHUN PERJALANAN PANCASILA
Sebagian besar masyarakat yakin bahwa Rumusan Pancasila dicetuskan pertama kali oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, sehingga tanggal tersebut pernah dijadikan tonggak sejarah hari kelahiran Pancasila. Namun perkembangan jaman sempat memudarkan keyakinan itu. Pada era orde baru, ada pergeseran paradigma sejarah, sehingga peran Bung Karno sebagai pencetus pertama Pancasila sebagai dasar negara sempat menjadi dikaburkan. Hal seperti ini wajar, karena sejarah itu adalah history (his story/cerita dia), sehingga wajar saja jika peran seorang tokoh sangat bergantung pada kesan dan pesan subyektif si pembuat versi sejarah itu kepada tokoh yang akan diceritakan.

Upaya pengubahan orientasi serta paradigma sejarah Pancasila pada era orde baru sebenarnya membawa dampak positif terhadap citra Pancasila itu. Momentum kesaktian Pancasila, terlepas dari versi sejarah mana yang benar, disengaja atau tidak, justru mengangkat harkat Pancasila, karena terdapat kesan bahwa Pancasila itu dirumuskan oleh seseorang yang dianggap memiliki catatan negatif menurut anggapan yang beredar luas pada saat itu. Bahkan paradigma sejarah versi rezim orde baru yang menganggap bahwa rezim orde lama di bawah pimpinan sang pencetus rumusan Pancasila itu terlibat dalam pengkhianatan Pancasila, turut serta membersihkan pamor Pancasila.

Akan tetapi sayang seribu kali sayang, penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian tokoh serta pemimpin orde baru yang berhasil secara halus bernaung atau berlindung di balik jubah Pancasila, nilai luhur Pancasila itu menjadi kusam. Pada masa orde baru banyak orang mencari pembenaran atas hasrat serta kepentingannya dengan menggunakan dalih Pancasila. Dengan alasan “musyawarah mufakat”, maka dihalalkanlah praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi. Dengan alasan “ini negeri Pancasila”, “demi menyelamatkan Pancasila”,… ini dan itu,… maka dibebaskanlah para pelaku kecurangan, penyelewengan, kedzaliman, kemunafikan, kemungkaran, kemaksiatan, dan berbagai bentuk penyimpangan lain di satu sisi, sementara di sisi lain tidak sedikit orang yang benar-benar membela kebenaran malah dipersalahkan bahkan harus mendekam di dalam ruang bertirai besi dengan tuduhan “ ekstrimis, .. anti pancasila, orde lama, komunis, dsb…

Kemahiran oknum penguasa orde baru berlindung di balik Pancasila telah menyebabkan pencemaran keluhuran Pancasila. Menjelang akhir dari kejayaan rezim orde baru, secara terbuka sudah mulai bermunculan pernyataan yang mempertanyakan Pancasila. Bahkan tidak sedikit yang membuat pernyataan anti sakralisasi Pancasila, dengan alasan bahwa Pancasila telah disakralkan oleh rezim orde baru.

Anggapan sakralisasi Pancasila pada masa rezim orde baru sebenarnya tidaklah tepat, karena sebenarnya pada masa orde baru itulah terjadi proses pelecehan Pancasila. Pada masa itu Pancasila dijadikan tameng atau bumper kedzaliman, kemaksiyatan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan oleh sebagian besar penguasa. Betapa tidak,… sosok-sosok yang disebut Manggala ( penatar tingkat tertinggi ilmu tafsir Pancasila madzhab orde baru ) pun, ternyata sebagian besar malah pelaku Kedzaliman dan Kemunafikan Nasional ( KKN, yang salah satu bentuk anaknya adalah Korupsi Kolusi dan Nepotisme ). Fenomena itu lah yang menyebabkan bermunculannya kesan bahwa Pancasila identik dengan orde baru dengan berbagai macam ragam bentuk jurus KKN-nya, yang menyebabkan kehancuran negeri tercinta. Padahal sebenarnya, jika kita gali nilai-nila Pancasila dari ajaran budaya Jawa, sejak Prolamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini Pancasila belum pernah dilaksanakan satu sila pun oleh para pemimpin bangsa ini secara benar. Selama 58 tahun terakhir ini Pancasila hanya bagaikan Mahkota emas yang dipakai bergantian oleh para perampok dan pemerkosa, yang akhirnya banyak orang muak melihat mahkota itu karena selalu melekat di kepala makhluk yang tidak berperadaban serta tidak berbudaya.

WAHYU SAPTA WARSITA PANCA PANCATANING MULYA
Menurut sebagian dari faham ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila itu merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya ( Wahyu tujuh kelompok ajaran yang masing-masing kelompok berisi lima butir ajaran untuk mencapai kemuliaan, ketenteraman, dan kesejahteraan kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/ akhirat ). Sementara itu ada tokoh spiritual lain menyebutkan Panca Mukti Muni Wacana yang hanya terdiri atas lima kelompok ( bukan tujuh ).

Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya itu terdiri atas :

1. Pancasila
Pancasila merupakan butir-butir ajaran yang perlu dijadikan rujukan pembentukan sikap dasar atau akhlak manusia.

1.1. Hambeg Manembah
Hambeg manembah adalah sikap ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Manusia sebagai makhluk ciptaanNya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan pengabdian yang hanya kepadaNya itu, manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam kelanggengan ( akhirat ) kelak ( Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng ).

Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridlo Ilahi, Tuhan Yang Maha Bijaksana ( Hyang Suksma Kawekas ).

Hambeg Mangeran ini mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia. Sedangkang akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan, pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

1.2. Hambeg Manunggal
Hambeg manunggal adalah sikap bersatu. Manusia yang hambeg mangeran akan menyadari bahwa manusia itu terlahir di alam dunia ini pada hakekatnya sama. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap insan itu memang merupakan tanda-tanda kebesaran Hyang Suksma Adi Luwih ( Tuhan Yang Maha Luhur ). Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk dari sikap ketakwaan seseorang adalah sikap hasrat serta kemauan kerasnya untuk bersatu. Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan lain sebenarnya bukan alat untuk saling berpecah belah, tetapi malah harus dapat dipersatukan dalam komposisi kehidupan yang serasi serta bersinergi. Hanya ketakwaan lah yang mampu menjadi pendorong tumbuhnya hambeg manunggal ini, karena manusia akan merasa memiliki satu tujuan hidup, satu orientasi hidup, dan satu visi di dalam kehidupannya.

Di dalam salah satu ajaran spiritual, hambeg manunggal itu dinyatakan sebagai, manunggaling kawula lan gustine (bersatunya antara rakyat dengan pemimpin), manunggale jagad gedhe lan jagad cilik ( bersatunya jagad besar dengan jagad kecil ), manunggale manungsa lan alame ( bersatunya manusia dengan alam sekitarnya ), manunggale dhiri lan bebrayan ( bersatunya individu dengan masyarakat luas ), manunggaling sapadha-padha ( persatuan di antara sesama ), dan sebagainya.

1.3. Hambeg Welas Asih
Hambeg welas asih adalah sikap kasih sayang. Manusia yang hambeg mangeran, akan merasa dhirinya dengan sesama manusia memiliki kesamaan hakikat di dalam hidup. Dengan kesadaran itu, setelah hambeg manunggal, manusia wajib memiliki rasa welas asih atau kasih sayang di antara sesamanya. Sikap kasih sayang itu akan mampu semakin mempererat persatuan dan kesatuan.

1.4. Hambeg Wisata.
Hambeg wisata adalah sikap tenteram dan mantap. Karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia akan bersikap tenteram dan merasa mantap di dalam kehidupannya. Sikap ini tumbuh karena keyakinannya bahwa semua kejadian ini merupakan kehendak Sang Pencipta.

Hambeg wisata bukan berarti pasrah menyerah tanpa usaha, tetapi justru karena kesadaran bahwa semua kejadian di alam semesta ini terjadi karena kehendakNya, sedangkan Tuhan juga menghendaki manusia harus membangun tata kehidupan untuk mensejahterakan kehidupan alam semesta, maka dalam rangka hambeg wisata itu manusia juga merasa tenteram dan mantap dalam melakukan usaha, berkarya, dan upaya di dalam membangun kesejahteraan alam semesta. Manusia akan merasa mantap dan tenteram hidup berinteraksi dengan sesamanya, untuk saling membantu, bahu membahu, saling mengingatkan, saling mat sinamatan, di dalam kehidupan.

1.5. Hambeg Makarya Jaya Sasama
Hambeg Makarya Jaya Sasama adalah sikap kemauan keras berkarya, untuk mencapai kehidupan, kejayaan sesama manusia. Manusia wajib menyadari bahwa keberadaannya berasal dari asal yang sama, oleh karena itu manusia wajib berkarya bersama-sama menurut potensi yang ada pada dirinya masing-masing, sehingga membentuk sinergi yang luar biasa untuk menjapai kesejahteraan hidup bersama. Sikap hambeg makarya jaya sesama akan membangun rasa “tidak rela” jika masih ada sesama manusia yang hidup kekurangan atau kesengsaraan.

2. Panca Karya
Panca karya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan berkarya di dalam kehidupan.

2.1. Karyaning Cipta Tata
Karyaning Cipta Tata adalah kemampuan berfikir secara runtut, sistematis, tidak semrawut ( tidak worsuh, tidak tumpang tindih ).

Manusia wajib mengolah kemampuan berfikir agar mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya secara sistematis dan tuntas. Setiap menghadapi permasalahan wajib mengetahui duduk permasalahannya secara benar, mengetahui tujuan penyelesaian masalah yang benar beserta berbagai standar kriteria kinerja yang hendak dicapainya, mengetahui kendala-kendala yang ada, dan menyusun langkah atau strategi penyelesaian masalah yang optimal.

2.2. Karyaning Rasa Resik
Karyaning rasa resik adalah kemampuan bertindak obyektif, bersih, tanpa dipengaruhi dorongan hawa nafsu, keserakahan, ketamakan, atau kepentingan-kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran/budi luhur.

2.3. Karyaning Karsa Lugu
Karyaning Karsa Lugu adalah kemampuan berbuat bertindak sesuai suara kesucian relung kalbu yang paling dalam, yang pada dasarnya adalah hakekat kejujuran fitrah Ilahiyah ( sesuai kebenaran sejati yang datang dari Tuhan Yang Maha Suci/Hyang Suksma Jati Kawekas ).

2.4. Karyaning Jiwa Mardika
Karyaning Jiwa Mardika adalah kemampuan berbuat sesuai dengan dorongan Sang Jiwa yang hanya menambatkan segala hasil karya, daya upaya, serta cita-cita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari cengkeraman pancaindera dan hawa nafsu keserakahan serta ketamakan akan keduniawian. Karyaning Jiwa Mardika akan mampu mengendalikan keduniaan, bukan diperbudak oleh keduniawian ( Sang Jiwa wus bisa murba lan mardikaake sagung paraboting kadonyan ).

2.5. Karyaning Suksma Meneng
Karyaning Suksma Meneng adalah kemampuan berbuat berlandaskan kemantapan peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana, berlandaskan kebenaran, keadilan, kesucian fitrah hidup, “ teguh jiwa, teguh suksma, teguh hing panembah “.

Di dalam setiap gerak langkahnya, manusia wajib merujukkan hasil karya ciptanya pada kehendak Sang Pencipta, yang menitipkan amanah dunia ini kepada manusia agar selalu sejahtera.

3. Panca Guna
Panca guna merupakan butir-butir ajaran untuk mengolah potensi kepribadian dasar manusia sebagai modal dalam mengarungi bahtera kehidupan.

3.1. Guna Empan Papaning Daya Pikir
Guna empan papaning daya pikir adalah kemampuan untuk berkonsentrasi, berfikir secara benar, efektif, dan efisien ( tidak berfikir melantur, meratapi keterlanjuran, mengkhayal yang tidak bermanfaat, tidak suka menyia-nyiakan waktu ).

3.2. Guna Empan Papaning Daya Rasa
Guna empan papaning daya rasa adalah kemampuan untuk mengendalikan kalbu, serta perasaan ( rasa, rumangsa, lan pangrasa ), secara arif dan bijaksana.

3.3. Guna Empan Papaning Daya Karsa
Guna empan papaning daya karsa adalah kemampuan untuk mengendalikan, dan mengelola kemauan, cita-cita, niyat, dan harapan.

3.4. Guna Empan Papaning Daya Karya
Guna empan papaning daya karya adalah kemampuan untuk berkarya, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

3.5. Guna Empan Papaning Daya Panguwasa
Guna empan papaning daya panguwasa adalah kemampuan untuk memanfaatkan serta mengendalikan kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan secara arif dan bijaksana (tidak menyalahgunakan kewenangan). Kewenangan, kekuasaan, serta kemampuan yang dimilikinya dimanfaatkan secara baik, benar, dan tepat untuk mengelola (merencanakan, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ) kehidupan alam semesta.

4. Panca Dharma
Panca dharma merupakan butir-butir ajaran rujukan pengarahan orientasi hidup dan berkehidupan, sebagai penuntun bagi manusia untuk menentukan visi dan misi hidupnya.

4.1. Dharma Marang Hingkang Akarya Jagad
Dharma marang Hingkang Akarya Jagad adalah melaksanakan perbuatan mulia sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban umat kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa untuk selalu menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu semua perilaku, budi daya, cipta, rasa, karsa, dan karyanya di dunia tiada lain dilakukan hanya semata-mata sebagai bentuk perwujudan dari peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mensejahterakan alam semesta ( memayu hayuning harjaning bawana, memayu hayuning jagad traya ).

4.2. Dharma Marang Dhirine
Dharma marang dhirine adalah melaksanakan kewajiban untuk memelihara serta mengelola dhirinya secara baik. Olah raga, olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah karya perlu dilakukan secara baik sehingga sehat jasmani, rohani, lahir, dan batinnya.

Manusia perlu menjaga kesehatan jasmaninya. Namun demikian mengasah budi, melalui belajar agama, budaya, serta olah batin, merupakan kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri agar dapat mencapai kasampurnaning urip, mencapai kebahagiaan serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

Dengan kesehatan jasmani, rohani, lahir, dan batin tersebut, manusia dapat memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.

4.3. Dharma Marang Kulawarga
Dharma marang kulawarga adalah melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak-hak keluarga. Keluarga merupakan kelompok terkecil binaan manusia sebagai bagian dari masyarakat bangsa dan negara. Pembangunan keluarga merupakan fitrah manusiawi. Kelompoh ini tentunya perlu terbangun secara baik. Oleh karena itu sebagai manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas masing-masing di dalam lingkungan keluarganya secara baik, benar, dan tepat.

4.4. Dharma Marang Bebrayan
Dharma marang bebrayan adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun kehidupan bermasyarakat secara baik, agar dapat membangun masyarakat binaan yang tenteram damai, sejahtera, aman sentosa.

4.5. Dharma Marang Nagara
Dharma marang nagara adalah melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun negara sesuai peran dan kedudukannya masing-masing, demi kesejahteraan, kemuliaan, ketenteraman, keamanan, kesetosaan, kedaulatan, keluhuran martabat, kejayaan, keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negaran beserta seluruh lapisan rakyat, dan masyarakatnya.

5. Panca Jaya
Panca jaya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan penetapan standar kriteria atau tolok ukur hidup dan kehidupan manusia.

5.1. Jayeng Dhiri
Jayeng dhiri artinya mampu menguasai, mengendalikan, serta mengelola dirinya sendiri, sehingga mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya, tanpa kesombongan ( ora rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan hangrumangsani, kanthi rasa, rumangsa, lan pangrasa ).

5.2. Jayeng Bhaya
Jayeng Bhaya artinya mampu menghadapi, menanggulangi, dan mengatasi semua bahaya, ancaman, tantangan, gangguan, serta hambatan yang dihadapinya setiap saat, dengan modal kepandaian, kepiawaian, kecakapan, akal, budi pekeri, ilmu, pengetahuan, kecerdikan, siasat, kiat-kiat, dan ketekunan yang dimilikinya. Dengan modal itu, seseorang diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan dengan cara yang optimal, tanpa melalui pengorbanan ( mendatangkan dampak negatif ), sehingga sering disebut ‘nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake‘ ( menyerang tanpa pasukan, menang dengan tidak mengalahkan ).

5.3. Jayeng Donya
Jayeng donya artinya mampu memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia, tanpa dikendalikan oleh dorongan nafsu keserakahan. Dengan kemampuan mengendalikan nafsu keserakahan di dalam memenuhi segala bentuk hajat serta kebutuhan hidup, maka manusia akan selalu peduli terhadap kebutuhan orang lain, dengan semangat tolong menolong, serta memberikan hak-hak orang lain, termasuk fakir miskin ( orang lemah yang nandang kesusahan/ papa cintraka ).

5.4. Jayeng Bawana Langgeng
Jayeng bawana langgeng artinya mampu mengalahkan semua rintangan, cobaan, dan godaan di dalam kehidupan untuk mempersiapkan diri, keturunan, dan generasi penerus sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.

5.5. Jayeng Lana ( mangwaseng hurip lahir batin kanthi langgeng ).
Jayeng lana artinya mampu secara konsisten menguasai serta mengendalikan diri lahir dan batin, sehingga tetap berada pada hidup dan kehidupan di bawah ridlo Ilahi.

6. Panca Daya
Panca daya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan sikap dan perilaku manusia sebagai insan sosial, atau bagian dari warga masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu sementara para penghayat spiritual kebudayaan Jawa mengisyaratkan bahwa pancadaya itu merupakan komponen yang mutlak sebagai syarat pembangunan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa lahir batin.

6.1. Daya Kawruh Luhuring Sujanma
Daya kawruh luhuring sujanma artinya kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu memberikan manfaat kepada kesejahteraan alam semesta.

6.2. Daya Adiling Pangarsa
Daya adiling pangarsa/tuwanggana artinya kekuatan keadilan para pemimpin.

6.3. Daya Katemenaning Pangupa Boga
Daya katemenaning pangupa boga artinya kekuatan kejujuran para pelaku perekonomian ( pedagang, pengusaha ).

6.4. Daya Kasetyaning Para Punggawa lan Nayaka
Daya kasetyaning para punggawa lan nayaka artinya kekuatan kesetiaan para pegawai/ karyawan.

6.5. Daya Panembahing Para Kawula
Daya panembahing para kawula artinya kekuatan kemuliaan akhlak seluruh lapisan masyarakat ( mulai rakyat kecil hingga para pemimpinnya; mulai yang lemah hingga yang kuat, mulai yang nestapa hingga yang kaya raya, mulai kopral hingga jenderal, mulai sengsarawan hingga hartawan ).

7. Panca Pamanunggal ( Panca Panunggal )
Panca pamanunggal adalah butir-butir ajaran rujukan kriteria sosok manusia pemersatu. Sementara tokoh penghayat spiritual jawa menyebutkan bahwa sosok pimpinan yang adil dan akan mampu mengangkat harkat serta martabat bangsanya adalah sosok pimpinan yang di dalam jiwa dan raganya bersemayam perpaduan kelima komponen ini.

7.1. Pandhita Suci Hing Cipta Nala
Pandita suci hing cipta nala adalah sosok insan yang memiliki sifat fitrah, yaitu kesucian lahir batin, kesucian fikir dan tingkah laku demi memperoleh ridlo Ilahi.

7.2. Pamong Waskita
Pamong waskita adalah sosok insan yang mampu menjadi pelayan masyarakat yang tanggap aspirasi yang dilayaninya.

7.3. Pangayom Pradah Ber Budi Bawa Bawa Leksana
Pangayom pradhah ber budi bawa leksana adalah sosok insan yang mampu melindungi semua yang ada di bawah tanggungjawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil berdasarkan kejujuran.

7.4. Pangarsa Mulya Limpat Wicaksana
Pangarsa mulya limpat wicaksana artinya sosok insan pemimpin yang berbudi luhur, berakhlak mulia, cakap, pandai, handal, profesional, bertanggungjawab, serta bijaksana.

7.5. Pangreh Wibawa Lumaku Tama
Pangreh wibawa lumaku tama artinya sosok insan pengatur, penguasa, pengelola yang berwibawa, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, mampu mengatur bawahan dengan kewenangan yang dimilikinya, tetapi tidak sewenang-wenang, karena berada di dalam selalu berada di dalam koridor perilaku yang mulia ( laku utama ).

KORELASI RUMUSAN PANCASILA DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Menurut KRMH. T.H. Koesoemoboedoyo
, di dalam buku tentang “Wawasan Pandam Pandoming Gesang Wewarah Adiluhung Para Leluhur Nuswantara Ngudi Kasampurnan Nggayuh Kamardikan”, pada tahun 1926, perjalanan spiritual Bung Karno, yang sejak usia mudanya gemar olah kebatinan untuk menggapai cita-citanya yang selalu menginginkan kemerdekaan negeri tercinta, pernah bertemu dengan seorang tokoh spiritual, yaitu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata di Kendal Jawa Tengah. Pada saat itu Raden Ngabehi Dirdjasoebrata mengatakan kepada Bung Karno, “ Nak,.. mbenjing menawi nagari sampun mardika, dhasaripun Pancasila. Supados nak Karno mangertos, sakpunika ugi kula aturi sowan dik Wardi mantri guru Sawangan Magelang “. ( “ Nak, nanti jika negeri telah merdeka, dasarnya Pancasila. Supaya nak Karno mengerti, sekarang juga saya sarankan menemui dik Wardi, mantri guru Sawangan Magelang” ). Setelah Bung Karno menemui Raden Suwardi di Sawangan Magelang, maka oleh Raden Suwardi disarankan agar Bung Karno menghadap Raden Mas Sarwadi Praboekoesoema di Yogyakarta.

Di dalam pertemuannya dengan Raden Mas Sarwadi Praboekoesoemo itu lah Bung Karno memperoleh wejangan tentang Panca Mukti Muni Wacana dalam bingkai Ajaran Spiritual Budaya Jawa, yang terdiri atas Pancasila, Panca Karya, Panca Guna, Pancadharma, dan Pancajaya.

Terlepas dari kecenderungan faham pendapat Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya, atau Panca Mukti Muni Wacana, jika dilihat rumusan Pancasila ( dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ), beserta proses pengusulan rumusannya, dengan menggunakan kejernihan hati dan kejujuran, sepertinya dapat terbaca bahwa seluruh kandungan ajaran Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya dan atau Panca Mukti Muni Wacana itu termuat secara ringkas di dalam rumusan sila-sila Pancasila, yaitu :

1. Ketuhanan Yang Mahaesa

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan

/ perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

AJARAN MORAL UNIVERSAL
Kelompok orang yang sudah mulai alergi terhadap Pancasila, sering mengira bahwa penghambat kemajuan bangsa ini adalah Pancasila. Pendapat itu merupakan pendapat yang sangat keliru, karena tidak disertai pemahaman yang menyeluruh tentang makna serta hakikat Pancasila.

Pancasila itu ibarat pisau emas yang bermata berlian. Ditinjau dari bahannya, pisau itu terbuat dari logam mulia serta batu yang sangat mulia. Dan pisau emas bermata berlian itu sangat tajam. Kemuliaan dan ketajamannya dapat digunakan untuk apa saja oleh siapa saja. Pisau itu dapat digunakan untuk memasak, untuk berkarya membuat ukiran patung yang indah, untuk mencari air dan mata pencaharian demi kesejahteraan dan ketenteraman, tetapi dapat pula untuk menodong, bahkan membunuh. Pisau itu pun dapat dibuang, digadaikan, atau dijual bagi orang yang tidak mengerti nilai (value). Permasalahannya sangat bergantung pada manusia pemakainya.

Seekor monyet, jika disuruh memilih antara pisang atau pisau emas yang bermata berlian tadi, pasti akan memilih pisang. Lain halnya dengan manusia yang memang menyadari akan harkat dan martabat kemanusiaannya. Manusia seperti ini pasti akan memilih pisau emas yang bermata intan itu, karena sadar akan nilai yang terkandung di dalamnya. Kalau toh pisau emas bermata berlian tadi berada di tangan monyet, paling digunakan untuk mencuri pisang dengan segala keserakahannya, setelah itu dibuang.

Pancasila yang luhur itu selama ini berada di bumi pertiwi sering sekali mengalami nasib bagaikan mahkota emas bertatahkan intan, berlian dan permata mulia tetapi dipakai oleh babi-babi yang tidak berbudaya, atau monyet yang tak mengerti nilai.

Manusia yang tak tahu nilai, ibarat makhluk yang sudah kehilangan sifat insani kemanusiaannya ( lir jalma kang wus koncatan sipat kamanungsane ).

Kandungan Pancasila yang merupakan ikhtisar dari Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran kitab suci Al-Qur’an. Nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, walaupun tidak tertulis dalam bentuk rumusan, sangat sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi pekerti yang dimiliki, dijunjung tinggi, serta diamalkan sebagai landasan hidup oleh bangsa-bangsa maju yang berperadaban tinggi di dunia. Dengan demikian Pancasila ini merupakan ideologi yang bersifat universal. Di dalam Pancasila terkandung pula nilai-nilai sosialis religius, bahkan lebih sempurna. Tetapi sayang, nilai-nilai luhur itu nampaknya belum pernah termunculkan dalam kehidupan sehari hari, bahkan sering ditafsirmiring atau diselewengkan oleh oknum-oknum pemimpin, sehingga banyak orang yang meributkan atau mempermasalahkan/ mempertentangkan antara Pancasila dengan Islam, Pancasila dianggap kurang baik jika dibandingkan dengan faham Sosialis Religius, dan sebagainya.

Pandangan-pandangan negatif terhadap Pancasila itu muncul barangkali karena prasangka bahwa Pancasila itu adalah identik dengan Sukarnoisme ( sosialisasi Pancasila ), atau Soehartoisme ( liberalisasi Pancasila ) seperti yang tercantum dalam materi Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila. Pancasila adalah Pancasila.

Banyak orang berpendapat bahwa tanpa Pancasila bangsa-bangsa seperti di negara Amerika Serikat, di negara-negara Eropa, Jepang, Korea, Inggris, Australia, Malaysia, dan Singapura dapat maju dan jaya secara pesat, sedangkan di Indonesia yang ada Pancasila malah semakin mundur dan melarat. Bahkan orang yang berpendapat demikian itu malah mengutarakan juga bahwa dari segi moral dan akhlaknya pun, bangsa Indonesia ini kalah dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Pancasila.

Di negara maju, seorang calon pemimpin harus bersih, suci dari cacat-cacat akhlak. Namun perlu kita cermati, di negeri pertiwi ini malah banyak pemimpin yang turut mendukung perilaku maksiyat. Apakah ini sesuai dengan nilai-nilai luhur sila Ketuhanan Yang Mahaesa, yang menjiwai keempat sila yang lain.

Kalau kita menyimak tata upacara pelantikan Presiden Amerika Serikat, perlu lah kita mengakui bahwa Bangsa Amerika lebih menjunjung Tinggi Ketuhanan dibandingkan bangsa Indonesia. Sebelum upacara dimulai, pasti didahului dengan doa. Dengan demikian maka proses pengangkatan Presiden negara adi daya itu pasti diridlo Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga tidaklah aneh kalau bangsa tersebut mampu menguasai dunia. Di sisi lain, di Indonesia, doa selalu dibacakan di setiap akhir upacara, sehingga tidaklah mengherankan kalau bangsa Indonesia yang mengaku berketuhanan itu selalu nubyak-nubyak tanpa tuntunan di dalam setiap sepak terjangnya, dan diakhiri dengan keterlanjuran, penyesalan, dan permohonan maaf.

Di dalam mata uang Dolar Amerika tertulis “ IN GOD WE TRUST “ di bagian atas, oleh karena itu kiranya tidaklah perlu heran kalau nilai mata uang dolar Amerika selalu tinggi dan mampu menguasai dunia. Mata uang Indonesia baru saja mencantumkan “Dengan rahmat Tuhan Yang Mahaesa”. Tulisan itu pun kecil dan terletak di bagian bawah. Bahkan sebelumnya kalimat yang tidak pernah tertinggalkan adalah “ Barang siapa meniru atau memalsukan,… dst “. Bukankah itu cerminan kadar ke Pancasilaisan bangsa yang mengaku berbudaya luhur ini ??

Sistem demokrasi di negeri kita masih sangat kental diwarnai oleh ketamakan akan kekuasaan, dan ketamakan akan harta. Cara-cara penyusunan konstitusi yang berbau mencari-cari celah pembenaran atas kehendak kelompok atau pribadi-pribadi tertentu, belum berorientasi pada upaya penyejahteraan rakyat, apakah sesuai dengan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Benarkah sistem demokrasi/ sistem politik kita sudah merujuk pada Pancasila, sak jatine Pancasila ??. Benarkah sistem demokrasi kita sudah berlandaskan hikmah ( kebenaran hakiki, berlandaskan kejujuran ) demi kesejahteraan kehidupan rakyat ??

Perlu dicermati bersama, bahwa di Indonesia itu ada yang memformulasikan, atau merumuskan Pancasila secara formal, tetapi yang mampu dan mau mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari sangat-sangat langka. Sedangkan di lain fihak, di negara-negara maju yang lebih berperadaban, walaupun tanpa formulasi atau rumusan, Pancasila sudah merupakan budaya di dalam kehidupan kesehariannya, sudah melekat dalam jiwanya sehingga mampu membawa mereka ke dalam kemuliaan hidup diri dan negaranya.

Empat orang pemimpin negara Republik Indonesia ini turun dengan cara yang kurang baik dan selalu berakhir dengan kesan negatif.

Pengalaman ini perlu dijadikan bahan perenungan, apakah itu budaya Pancasila??? Bahkan sejarah pun mencatat, bukan hanya di jaman Republik saja, tetapi sejak kerajaan-kerajaan terdahulu di bumi Pertiwi ini, setiap pergantian kepemimpinan hampir selalu disertai berbagai kesan atau proses yang kurang baik. Keruntuhan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan negeri-negeri lain di persada Nusantara ini perlu lah kiranya kita jadikan bahan renungan dan tantangan. Benarkah di dalam sanubari manusia Indonesia ini masih mengalir darah Pancasilais 

Sumber: http://www.blogger.com/blogger.g?blogID

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More