Pages

JALMA MARA , JALMA MATI

Jagat iki ana, ana kang jaga !” aku isih eling marang kandhamu, tatkalane lemah dadi kawahing antarane suroboyo medion banjur krasa ana kang gosong ing batin batin panguripku, ngegirisi marang daya lantipkukaya gosonge areng klapa kang wus ilang wawakaya jasad kang limpad kelangan nyawa... .

KU INGIN BERSAMAMU

Aku ingin bersamamu tiap pagi meskipun aku tak pernah tahu dimana kamu Aku ingin bersamamu hingga senja datang meskipun ternyata malam telah larut.. Untuk bersamamu aku ingin kan semua.. Kepingan demi kepingan hati yang kau bawa serta bersamamu

Aku ingin pulang

Aku ingin pulang bersama kehidupan bersama bidadari surgawi berparas segar lalu menyaksikan lagi burung-burung dengan guraunya merangkai sarang bagi rumah aku ingin pulang ke rumah hatiku sebab seruan hidup di pintunya dimana pagarnya kembang lihatlah kupu-kupunya

PENANTIANKU

Sepoi angin menembus badan menyusup disela-sela rambut hitamku deru ombak berhantam menerka seakan tau isi hatiku yang gundah Mengapa kau pergi jauh ke sana meninggalkan untaian kenangan manis membiarkan diriku terselimut sepi hampa sendiri tanpa bayangmu lagi Mengapa ini semua terjadi kau biarkan linangan air mataku terjatuh menangisi dirimu yang berkelana pergi menilnggalkanku seorang diri

LELAYARAN ING KATRESNAN

kamangka sliramu wis ngentirake gegayuhanku mbaka sithik tumekaning gisiklelayaran ing katresnan nyabrangi reribed sadhengah wayah wani nglangkahi telenging pepeteng tanpa maelu sakabehing gubrahyagene praumu durung miwiti anggone nglari nakodaning ati sawise kelakon nggayuh sunare pituduh madhangi katresnan iki tumekaning subuh .

Thursday 29 May 2014

SEJARAH KABUPATEN SOMOROTO YANG BERADA DI WILAYAH PONOROGO

Artikel ini mencoba untuk menjelaskan tentang sejarah Kabupaten Somoroto. Disini juga akan dijelaskan mengenai letak geografis Kabupaten Somoroto, korelasi Kabupaten Somoroto dengan Kabupaten Ponorogo, tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Bupati Somoroto, dan juga Pasarean Srandil yang merupakan makam peninggalan keturunan Bupati-bupati Somoroto. Kabupaten Somoroto dulunya disebut dengan Kabupaten Kutho Kilen. Kabupatennya pun terletak di Dusun Carat yang berada di utara jalan besar Ponorogo-Badegan. Alon-alon Kabupaten Somoroto dulu terletak di bangunan gedung Puskesmas dan Kantor Kecamatan Kauman. Kabupaten Somoroto berdiri antara tahun 1780-1887.
Kata Kunci: Letak geografis, Korelasi, Tokoh-tokoh, Pasarean Srandil

Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja pada tahun 1805, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja, putra dari Kyai Sutowijoyo, putra dari Kyai Sutojoyo, putra dari Kyai Ageng Cucuk Singowongso, putra dari Kyai Ageng Cucuk Dhepok, putra dari Kyai Ageng Cucuk Telon, putra dari Kyai Ageng Karangelo, putra dari Kyai Ageng Ampunan, putra dari Panembahan Jogorogo, putra dari Raden Alit, putra dari Raden Patah, putra dari Raden Patah, putra dari Brawijaya V raja Majapahit.
 

Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Kemudian atas perantaraan temannya, Wirareja diangkat sebagai pegawai Istana Surakarta yang bekerja sebagai pembaca tembang istana. Wirareja memiliki seorang puteri yang cantik yang bernama Roro Handawiyah (Roro Berook) “si Penari Bedaya Istana”. Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Wirareja nantinya diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.

Bupati Somoroto 1
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja yang laki-laki (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru. Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata).
Secara de facto Kabupaten Somoroto mulai berdiri pada tahun 1780, tetapi secara de jure baru berdiri tahun 1805, yaitu saat Sunan Pakubuwono IV (putra dari Sunan Pakubuwono III) secara resmi mengangkat Prawiradirja sebagai bupati di derah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Wilayahnya mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten Ponorogo warisan Bathara Katong dengan batas Sungai Sekayu ke barat terus ke selatan sampai ke Selahung. Pusat pemerintahannya (pendopo kabupaten) terletak di tapal batas Desa Carat dengan Desa Kauman yang sekarang ditempati SMAN 1 Kauman. Sedangkan alun-alunnya sekarang menjadi Puskesmas dan Kantor Kecamatan Kauman, dan masjidnya menjadi Masjid Jami’ Kauman sekarang. Berdirinya kabupaten baru tersebut juga direstui oleh Bupati Ponorogo Raden Tumenggung Surodiningrat I, pamannya sendiri karena istri dari sang bupati adalah adik dari ayahanda Raden Tumenggung Wirareja.
 

Berdirinya Kabupaten Somoroto sangat penting untuk mengamankan daerah Ponorogo, terutama bagian barat. Hal ini dikarenakan situasi Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan dalam keadaan kacau. Kekacauan ini dipicu oleh ulah bupatinya sendiri yang hanya mengutamakan kesenangan dirinya sendiri daripada memperhatikan kehidupan rakyatnya. Sang bupati, Raden Tumenggung Surodiningrat I memiliki 23 istri dan selir dengan memiliki anak sebanyak 135 orang. Akibatnya anak-anak beliau saling berebut kekuasaan sehingga suasana pemerintahan di Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan sangat kacau. Berdirinya Kabupaten Somoroto tentunya mendapat dukungan masyarakat banyak terutama masyarakat yang tinggal di sebelah barat Sungai Sekayu yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan.

Bupati Somoroto II
Setelah Raden Mas Tumenggung Prawiradirja meninggal dunia, Kabupaten Somoroto kemudian diperintah oleh putranya yang bernama Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II). Masa pemerintahan beliau bersamaan dengan Perang Diponegoro (1825-1830) dan pelaksanaa Tanam Paksa (1830-1870). Pada masa Tanam Paksa, Bangsa Indonesia dipaksa oleh Pemerintah Belanda untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, khusus untuk daerah Ponorogo diwajibkan untuk menanam kopi dan tom (bahan untuk membuat batik atau tekstil).
Pelaksanaan Taman Paksa ini diserahkan sepenuhnya kepada bupati masing-masing. Selain itu untuk mensukseskan pelaksanaan Tanam Paksa, Pemerintah Belanda memberi iming-iming hadiah atau persen kepada para bupati yang bisa mengumpulkan hasil pertanian melebihi ketentuan ynag ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Akibatnya banyak bupati yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah dengan cara memaksa rakyatnya untuk bekerja melebihi kemampuannya.
 

Berbeda dengan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, beliau adalah seorang bupati yang berwawasan ke depan, beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau sadar jika rakyat Somoroto dipaksa untuk menanam kopi dan tom, yang akan terjadi adalah bencana kelaparan.Sebab kopi dan tom bukan makanan pokok yang dapat memenuhi kehidupan rakyat Somoroto, tetapi semata-mata untuk memenuhi kepentingan penjajah yang serakah sehingga rakyat Somoroto tidak diperintah untuk menanam kopi dan tom, tetapi rakyatnya diperintah untuk tetap menanam padi.
 

Peristiwa tersebut diketahui oleh pihak Belanda, yang membuat Raden Mas Tumenggung Sumonagoro dipanggil ke Surabaya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Meskipun beliau sudah mengemukakan alasan yang sangat rasional tentang penolakan penanaman kopi dan tom, namun pihak Belanda tetap tidak mempedulikan, bahkan beliau dijatuhi hukuman yaitu dibuang ke Sulawesi. Sebelum beliau dibuang ke Sulawesi, beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, kemudian jenazahnya dimakamkan di Ampel Surabaya. Sepeninggal Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodirjo.

Bupati Somoroto III
Pada masa pemerintahan Raden Mas Brotodirjo (Bupati Somoroto III), tepatnya pada tahun 1837 atas campur tangan pemerintah Belanda dengan alasan untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah Ponorogo dan sekitarnya, Pemerintah Belanda berkeinginan untuk menggabungkan empat kabupaten yang ada di Ponorogo menjadi satu. Tetapi keinginan Belanda tersebut ditentang oleh bupati Somoroto Raden Mas Brotodirjo ”jika Kabupaten Somoroto dihapus dan digabung menjadi satu kabupaten dengan ketiga kabupaten lainnya, kami tidak bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan dimana-mana”.
 

Ancaman Bupati Somoroto tersebut bukan hanya omong kosong. Pemerintah Belanda yang ada di Ponorogo dan Madiun menyadari kalau situasinya belum kondusif. Secara nasional, pemerintah Belanda baru saja memadamkan Perlawanan Pangeran Diponegoro, dan pada masa itu pula pemerintah Belanda masih berusaha memadamkan Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Sedangkan di daerah Ponorogo, pemerintah Belanda baru saja memadamkan perlawanan Tumenggung Polorejo. Situasi yang kurang kondusif itu mengakibatkan pemerintah Belanda mengabulkan permintaan Bupati Somoroto untuk tetap berdiri sendiri lepas dari Kabupaten Ponorogo Kota Tengah. Sehingga pada tahun 1837 di Ponorogo hanya terdapat dua kabupaten, yang pertama yaitu Kabupaten Ponorogo Kota Tengah yang merupakan gabungan dari Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan, Kabupaten Pedanten dan Kabupaten Polorejo, dan yang kedua yaitu Kabupaten Somoroto itu sendiri yang biasa disebut Kutho Kilen.
 

Pada tahun 1855 Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia dalam usia 45 tahun yang jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil. Sedangkan pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati Somoroto IV
Secara geneologis, Raden Mas Brotodiningrat Bupati Somoroto IV ini masih ada keturunan darah raja-raja Madura, terutama dari pihak ibu, yaitu keturunan Sultan Bangkalan I. Sultan Bangkalan I memiliki anak yang bernama Raden Ayu Andajasmani yang menjadi permaisuri dari Sunan Pakubuwono IV raja Surakarta yang kemudian menurunkan Sunan Pakubuwono V. Sunan Pakubuwono V memiliki putra yang bernama Pangeran Sindusenan. Pangeran Sindusenan memiliki putri Raden Ayu yang kemudian menjadi istri dari Raden Mas Brotodirjo 


Bupati Somoroto III yang menurunkan Raden Mas Brotodiningrat.
Pada waktu ayahandanya Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia pada tahun 1855, Raden Mas Brotodiningrat masih berumur 6 tahun. Oleh karena itu pemerintahan di Somoroto diwakilkan kepada patihnya, Raden Mas Sumoatmodjo (1855-1869). Baru pada tahun1869 beliau diangkat sebagai Bupati SomorotoIV sampai tahun 1877. Selama memerintah di Somoroto, tidak ada berita tentang pemerintahannya. Namun yang jelas sejak tahun 1877 Kabupaten Somoroto dihapus yang kemudian digabung dengan Kabupaten Ponorogo Kutho Tengah. Agar tidak terjadi gejolak, 


Raden Mas Brotodiningrat dialih tugaskan oleh pemerintah Belanda menjadi Bupati Ngawi, dan beberapa tahun kemudian dipindah menjadi Bupati Madiun. Selama beliau memerintah di Madiun beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau berhasil menyelamatkan rakyatnya diambang kelaparan. 

Keberhasilan Bupati keturunan darah Madura tersebut dalam membela rakyatnya dari pihak Belanda mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama dari bupati-bupati yang ada di wilayah Karesidenan Madiun. Bahkan penguasa Kasunanan Surakarta Sunan Pakubuwono VII menganugerahi gelar “adipati” pada sang bupati, sehingga namanya menjadi Raden Mas Adipati Brotodiningrat. Beliau meninggal dunia pada 1927, jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil.

Pasarean Srandil
Pasarean (Astana) Srandil terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto.
Ditinjau dari segi geografis, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang saling sambung menyambung yang semuanya berjumlah lima bukit. Jika diurutkan mulai dari barat ke timur, kelima bukit tersebut adalah Bukit Lemu, Bukit Bancak, Bukit Ngrayu, Bukit Srayu, dan Bukit Srandil. Sedangkan Pasarean Srandil terletak di Bukit Srayu yang artinya “Sugeng Rahayu” atau bukit pembawa keselamatan. 


Tokoh pertama yang dimakamkan dan yang menjadi cikal bakal berdirinya Pasarean Srandil adalah Raden Mertokusumo, yaitu patih dari Kabupaten Polorejo yang menjadi pendukung Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.
Setelah Raden Tumenggung Brotonegoro Bupati Polorejo gugur dalam melawan penjajah Belanda, patihnya yang bernama Raden Dipotaruno berhasil meloloskan diri, kemudian beliau melarikan diri ke Desa Srandil dan bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Setelah situasinya aman, beliau memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan diperkirakan sejak saat itu beliau berganti nama menjadi Raden Mertokusumo dalam usaha menghindari usaha pengejaran prajurit Belanda. Oleh karena itu masyarakat Srandil lebih mengenal nama Raden Mertokusumo daripada Raden Dipotaruno sampai sekarang. Di Desa Srandil, Raden Mertokusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari, yakni tokoh pertama yang membuka (membabat) Desa Srandil. Kedua tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat Srandil sampai sekarang.
 

Sebelum Raden Mertokusumo meninggal dunia,beliau berpesan kepada masyarakat Srandil, bahwa jika beliau meninggal dunia, jenazahnya supaya dimakamkan di Bukit Srayu yang artinya Sugeng Rahayu atau bukit pembawa keselamatan. Karena atas pertolongan Allah, di Bukit Srayu itulah beliau berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
 

Pada waktu Kabupaten Somoroto diperintah oleh Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II) sekitar tahun 1830-an, beliau mengajukan permohonan kepada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono IV agar Desa Srandil yang luasnya 70 hektar dijadikan sebagai daerah perdikan (bebas pajak) untuk menjaga dan memelihara Pasarean Srandil dan sekaligus akan dijadikan sebagai pemakaman para keturunan bupati Somoroto. Dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Sunan Pakubuwono IV. Kemungkinan pembuatan pagar keliling yang berukuran 24m x 24m pada Pasarean Srandil yang tetap kokoh sampai sekarang sudah dimulai pada masa pemerintahan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1931 sesuai petunjuk papan nama yang terdapat pada Pasarean Srandil.
Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa).
 

Ditinjau dari segi tata letak makam, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang menganut pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman. Halaman pertama berada di luar gedung, sedangkan pelataran kedua dan ketiga berada di dalam gedung. Pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman tersebut merupakan budaya asli bangsa Indonesia, yakni menyerupai punden berundak-undak, yaitu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berbentuk piramida berteras, dimana bagian belakang lebih tinggi dari bagian depan.
 

Biasanya pada halaman belakang (halaman ketiga) terdapat makam yang paling dikeramatkan. Terbukti selain terdapat makam Raden Mertokusumo sebagai cikal bakal Pasarean Srandil, juga terdapat dua makam bupati Somoroto, yakni makam Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III dan makam Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Somoroto IV. Lain halnya dengan makam Raden Mas Tumenggung Prawiradirja Bupati Somoroto I, makamnya berada di Pasarean Setono Ponorogo, sedangkan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro Bupati Somoroto II makamnya berada di Ampelgading Surabaya.
 

Ditinjau dari segi arsitektur makam, adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.
 

Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja. Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Wirareja mempunyai puteri yang bernama Roro Handawiyah (Roro Berok). Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Akhirnya Wirareja diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.
 

Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru. Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata). Yang akhirnya Prawiradirja diangkat sebagai bupati di daerah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Selain Prawiradirja, bupati-bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Somoroto yaitu Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, Raden Mas Brotodirjo, dan Raden Mas Brotodiningrat.
 

Bupati-bupati Somoroto yang meninggal, selanjutnya dimakamkan di Pasarean (Astana) Srandil yang terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto. Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa). adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.

Sumber : http://nikenpranandari.blogspot.com

Wisata Religi

Mbah Ngaliman

Berdirinya sebuah negara atau daerah termasuk Nganjuk yang dikenal sebagai Bumi Anjuk Ladang, tentu tidak terlepas dari sejarah perjuangan masa lampau, para leluhur, atau nenek moyang yang telah babad alas, hingga tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini.
Pada saat para wisatawan yang akan menikmati indahnya air terjun Sedudo, di dekat pintu gerbang obyek wisata akan menjumpai lokasi makam yang disebut makam Ki Ageng Ngaliman. Bagaimana sejarhnya ?.
Berdasarkan data dan informasi yang direkam oleh Tim Penelusuran Sejarah Ngaliman yang melibatkan berbagai nara sumber baik yang berada di daerah Ngliman antara lain Mbah Iro Karto (sesepuh masyarakat), Drs. Sumarsono (Kades Ngliman)...............

Parmo (Mantan Kades Ngliman) , Suprapto (mantan Kades Sidorejo), Imam Syafi’i (Juru Kunci Makam), Sumarno (Kamituwo), Sarni (Jogoboyo) maupun nara sumber yang berada diluar daerah Ngliman antara lain Kyai Ahmad Suyuti (Ngetos), KH. Qolyubi (Keringan), KH. Moh. Huseini Ilyas (Karang Kedawang , Trowulan Mojokerto). KH. Moh. Huseini Ilyas ini merupakan salah satu keturanan Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon, maka tersusunlah tulisan seperti di bawah ini.
Di Desa Ngliman terdapat dua makam yang sama-sama disebut Ki Ageng Ngaliman. Akan tetapi guna membedakan kedua makam tersebut maka digunakan sebutan :
a. Makam Gedong Kulon ;
b. Makam Gedong Wetan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon
Ki Ageng Ngaliman dimakamkan di Desa Ngliman Kecamatan Sawahan + 50 Meter sebelah selatan Balai Desa Ngliman. Beliau dimakamkan bersama-sama dengan para sahabat dan pengikutnya. Dalam satu kompleks bangunan makam tersebut terdapat enam makam antara lain :
a. Ki Ageng Ngaliman ;
b. Pengeran Pati ;
c. Pangeran Kembang Sore ;
d. Pangeran Tejo Kusumo ;
e. Pangeran Blumbang Segoro ;
f. Pangeran Sumendhi.
Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan Makam Ki Ageng Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan bunga teratai. Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya.
 

Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah. Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi. Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.
 

Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang. Keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas. Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M. (sumber : KH. Qolyubi).
SILSILAH KI AGENG NGALIMAN menurut KH. Huseini Ilyas adalah RONGGOWARSITO ----- NUR FATAH ----- NUR IBRAHIM ----- SYEH YASIN SURAKARTA ----- NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO ----- MUSYIAH ----- I L Y A S ----- KH. HUSEINI ILYAS (TROWULAN MOJOKERTO)
 

Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan diadakan pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak Gunung Wilis. Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.
 

Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram. Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
 

Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat tersebut, dia adalah seorang cina yang waktu itu cina memakai rambut yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng Ngaliman merupakan seorang 


Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng ulah kanuragan keprajuritan. Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
 

Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkannya. Ki Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan di Gedong pusaka tersebut. Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak tetapi ada yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya ada beberapa pusaka.
 

Berdasarkan nara sumber dari Ngliman bahwa yang berada dan disimpan digedong pusoko antara lain :
a. Kyai Srabat ; (Hilang tahun 1976)
b. Nyai Endel ; (Hilang tahun 1976)
c. Kyai Berjonggopati; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
d. Kyai Trisula ; (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
e. Kyai Kembar
f. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
g. Kamar 1 buah
h. Kotak Wayang Kayu 1 buah
i. Terbang
j. Almari tempat pusaka 2 buah
k. Tempat Plandean Tumbak
 

Pada bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap mengelilingi Desa Ngliman.
 

Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain : Sedudo, Segenting, Banyu Iber, Banyu Cagak, Banyu Selawe, Toyo Merto, Tirto Binayat, Banyu Pahit, Selanjar dan Singokromo.
 

Sedangkan yang mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo. Sedangkan yang lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa dikunjungi dengan jalan setapak. 
Adapun air yang paling besar adalah Air terjun Banyu Cagak. Menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan
 

Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
 

Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik. Menurut sejarah telah disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik. Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali 9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100 hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden Patah.
 

Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri. Dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri. Setelah kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram. Dengan kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri. Diantara keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
 

Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung. Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan. Setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke Kudus.
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius. Dasar pemikiran yang sangat sederhana ini mudah-mudahan ada gayung bersambut dari pihak-pihak terkait guna pengkajian yang lebih mendalam.


Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Beliau yang dimakamkan di Ngaliman Gedong Kuolon berasal dari Solo Jawa Tengah dan masih keturunan Arab dan merupakan Senopati Perang Keraton Solo yang bernama Senopati Suroyudo. Perpindahan tersebut terjadi pada saat pergolakan Perang Gianti sekitar abad 17.
2. Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon adalah Kyai yang ahli dalam hal penggemblengan ilmu kanuragan. Ini bisa di buktikan bahwa di Desa Ngaliman tidak ada Pondok Pesantren namun yang ada tempat peninggalan untuk latih keprajuritan dan beberapa pusaka.
3. Beliau yang dimakamkan di Gedong Wetan berasal dari Gresik Jawa Timur sekitar abad 15 saat terjadi silang pendapat tentang penentuan orang yang menjabat sebagai raja di kerajaan Demak
Kirab Pusoko
 

Tempat atraksi wisata budaya berupa Kirab Pusoko dipusatkan di Gedung Pusoko Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Acara Kirab Pusoko digelar setiap bulan Maulud (dikaitkan dengan Bulan Kelahiran Nabi Muhamad, SAW), pada acara Kirab Pusoko ini selain acara yang sudah bersifat pakem, diisi pula pemeran produk unggulan penunjang dunia kepariwisataan. Dengan demikian nampak lebih semarak.
 

Kirab pusaka biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 itu berawal dari Dukuhan Bruno berjalan berarak-arakan menuju Gedung Pusoko berjarak sekitar 2,5 km. Saat itu pula warga di masing-masing pedukuhan mengadakan selamatan, dengan suguhan jajanan pala kependem. Yaitu seperti ketela, ubi, garut, kacang tanah dan lain-lainnya.
Pusoko yang dikirab berjumlah enam buah, sebagian banyak berupa wayang kayu. Kecuali Kyai 


Kembar yang berbentuk Cundrik Lar Bangao. Keenam pusaka itu ialah Kyai Bondan, Kyai Djoko Truno, Kyai Bethik, Kyai Kembar, dan Eyang Dukun serta Eyang Pandji. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pusaka-pusaka itu banyak membawa tuah diantaranya untuk keberhasilan dunia pertanian dan juga berkah kesehatan. Sebab, seperti dituturkan oleh Sang Juru Kunci Gedung Pusoko Ngalimin (65), konon ceritanya dulu kala ketika Desa Ngliman diserang wabah penyakit termasuk tanaman pertaniannya, Kyai Bondan dan Kyai Djoko Truno keliling desa dengan ditandai bunyi klintingan. “ Karenanya, di daerah Ngliman dan sekitarnya, walaupun bayi dilarang mengenakan klinting” tambah mBah Ngalimin.
 

Acara ini tidak ada kaitannya dengan agama., Bahkan, acara seperti itu bisa saling melengkapi kasanah budaya khususnya budaya jawa. Oleh karenanya, kedepan acara serupa bisa dikemas sebagai sebuah atraksi wisata budaya yang layak jual.
 
Sumber : http://putra-wilis.blogspot.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More