Pages

Monday 16 July 2012

Pitutur Urip Wong Jawa

Aja Nguthik-uthik Macan Turu
Artinya, aja nguthik-uthik (jangan mengusik), macan turu (harimau tidur). Di Jawa, harimau sering digelari raja hutan. Tentu saja, sebutan “raja” tersebut merupakan kiasan atau padanan. Sebab, “kekuasaan” yang diperoleh bukan karena kebijakan, kearifan, dan kepemimpinannya yang baik, melainkan karena sifat perbuatannya yang dinilai kejam, pemangsa binatang lain, gampang marah, buas, liar, dan selanjutnya. Karena itulah, orang yang memiliki sifat seperti itu lazim disamakan dengan macan atau harimau.

Orang bertabiat buruk sebagaimana harimau pada umumnya ditakuti karena setiap saat dapat membuat onar dan membahayakan orang lain. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya dia dibiarkan tenteram (asyik dengan dunianya sendiri), jangan sampai angkaran murkanya kambuh. Manakala yang bersangkutan sedang “tidur” (tabiat buruknya hilang untuk sementara), sekali-kali jangan diganggu atau dibangunkan (dipancing dengan masalah) karena dikhawatirkan sifat buruknya muncul mendadak, sehingga membuat kekacauan dan keributan di mana-mana.


Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan
Artinya, dudu sanak (bukan saudara), dudu kadang (bukan kerabat), yen mati (kalau meninggal), melu kelangan (ikut kehilangan). Peribahasa ini merupakan gambaran mengenai eratnya sistem kekerabatan di Jawa, dimana semua warga dihargai tanpa membeda-bedakan keturunan maupun hubungan darah yang ada. Meskipun orang lain, kalau yang bersangkutan mau menyatu atau membaur, maka mereka akan menghargai dan menganggapnya seperti keluarga sendiri.

Orang Jawa memiliki semangat persaudaraan yang tinggi. Semangat itu membuat mereka mudah bergaul, menjalin persahabatan dengan siapa saja. Sebab, persaudaraan (patembayatan) merupakan cara yang ideal untuk menemukan ketenteraman hidup. Di Jawa, menghormati orang lain (misalnya, tamu) sangatlah diutamakan. Terlebih jika sosok itu telah berjasa. Menghormatinya pun akan diwujudkan dengan bermacam cara, sekaligus menjadi manivestasi balas budi kepada sang pemberi jasa. Karena itulah, ketika sosok yang sangat dihormati dan dihargai itu meninggal, mereka akan benar-benar berduka dan merasa sangat kehilangan. Bahkan, terkadang lebih berduka daripada ketika menghadapi kematian sanak kerabat sendiri.
 
Agama Ageming Aji
Artinya, agama (agama), ageming aji (busana berharga). Peribahasa ini lahir dari kepercayaan batin yang dilandasi rasa ketuhanan orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan di dalam hidupnya. Dalam pandangan orang Jawa, agama bukan hanya dipahami dalam tataran rasio atau kognitif saja, melainkan harus diyakini hingga menyentuh hati dan diamalkan dalam setiap perbuatan. Karena itulah, agama lebih sebagai ageman (busana atau pakaian). Sedangkan yang disebut dengan aji di sini merupakan simbolisasi dari raja, atau pemegang tampuk kekuasaan negara. Bagi seorang pemimpin, dalam menjalankan roda pemerintahannya diharapkan selalu berpedoman pada nilai ajaran agama. Atau, dengan kata lain, seluruh kebijakannya harus berpedoman pada nilai-nilai agama yang dianut rakyat.

Dengan bertindak seperti itu, sang pemimpin akan terbebas dari perbuatan negatif yang bertentangan dengan agama, maupun yang menyengsarakan masyarakat luas. Prinsipnya, orang Jawa menghendaki pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin umat beragama. Mengapa demikian? Karena, seorang pemimpin yang agamis selalu bertindak berlandaskan ajaran agama dalam menyantuni banyak kalangan. Dengan berbuat demikian, ia menjadi pantas diaji-aji, diajeni, diahargai atas kebijaksanaannya yang dapat diterima oleh agama serta rakyatnya


Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara
Artinya, bener ketenger (benar ditandai), becik ketitik (baik terbukti), ala ketara (buruk kelihatan sendiri). Peribahasa ini menjadi anjuran agar siapa saja tidak takut untuk berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya nanti pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan, manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.

Peribahasa ini mengingatkan bahwa semua perbuatan – baik yang benar, baik, mau pun buruk – akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Misalnya, berbuat baik kepada orang lain dan telah lama ia tidak membalasnya, maka jangan sekali-kali mengeluh atau merasa kecewa. Sebab, balasan tersebut dapat datang dari mana saja. Bisa jadi datang dari orang lain. Atau, jatuh kepada anak cucu kita.

Siapa pun yang mempunyai niat jelek, sebaiknya mengurungkan niat tersebut. Artinya, jangan gampang melakukan perbuatan buruk, tercela, atau merugikan pihak lain. Di samping hanya akan menghasilkan dosa, jika perbuatan buruk tersebut ketahuan, tentu akan menimbulkan rasa malu yang tak terkira bagi pelakunya. Salah-salah, dia pun selamanya akan dicap sebagai pencuri, tidak lagi dipercaya, dan setiap tindak tanduknya selalu dicurigai oleh masyarakat di lingkungannya.

Darbe Kawruh Ora Ditangkarake, Bareng Mati Tanpa Tilas
Artinya, darbe kawruh (mempunyai pengetahuan), ora ditangkarake (tidak dikembangkan atau diamalkan), bareng mati tanpa tilas (setelah meninggal tiada bekas). Peribahasa ini menekankan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Karena, dengan ilmu pengetahuan itulah, mereka dapat membangun peradaban kehidupan yang lebih baik.

Di samping itu, masyarakat tradisional (seperti di Jawa) juga memiliki kepercayaan bahwa ilmu itu sesungguhnya milik Allah, dan manusia hanya sekadar nggaduh (dipinjami) untuk digunakan sebaik-baiknya bagi kemaslahatan umat manusia. Sebab, ilmu tersebut bukan hanya berguna bagi seseorang, tetapi sangat diperlukan oleh jutaan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, setiap orang yang berilmu, seyogianya membagi ilmu pengetahuannya kepada orang lain, jangan disimpan untuk diri sendiri saja. Dengan mengamalkan ilmu, seseorang akan memperoleh pahala dan ucapan terima kasih dari banyak orang.

Sebaliknya, jika ilmu itu digenggam sendiri, sama halnya tidak mempunyai tanggung jawab kepada Allah atas pinjaman yang diberikan kepadanya. Apabila kelak dirinya meninggal, orang tidak akan menghargainya karena yang bersangkutan juga tidak pernah memberikan kebaikan (jasa) kepada masyarakat luas.

Lambe Satumang Kari Samerang
Artinya, lambe satumang (bibir setebal tumang atau bibir tungku dapur), kari samerang (tinggal sebatang padi). Peribahasa ini sering dijadikan ungkapan oleh orang tua ketika nasihatnya tidak diperhatikan sama sekali oleh anak-anaknya. Bibir setebal tumang merupakan perlambang bahwa pada mulut orang tua terdapat banyak nasihat yang baik. Sementara itu, bibir tinggal setebal batang padi menjadi kiasan bagi orang tua yang telah kehabisan nasihat bagi anak-anaknya.

Peribahasa ini dahulunya sering digunakan untuk melampiaskan kejengkelan orang tua ketika nasihatnya dianggap angin lalu. Seluruh nasihat seperti masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri atau sebalinya. Semua hanya lewat tanpa ada satu pun yang singgah di kepala si anak. Nasihat tersebut berhenti hanya sebatas kata-kata saja tanpa ada perubahan yang baik pada diri si anak.

Di Jawa, sering terdengar kalimat “nggah nggih nggah nggih ora kepanggih”. Cuma menjawa “ya” saja tapi nasihat atau pekerjaan atau tugasnya tidak dilaksanakan sama sekali. Ketika disuruh untuk belajar, anak selalu menghindar. Diajari bekerja, begitu orang tuanya lengah, si anak justru main ke rumah temannya sampai sore. Padahal usianya menjelang remaja. Biasanya untuk menyingkirkan kemampatan bathin, orang tua sering menggerutu dengan “Bocah kok ngentekake lambe! Lambe satuman kari samerang”.

 
Kebo Nyusu Gudel
Artinya, kerbau menyusu kepada anaknya (gudel, Jawa). Peribahasa ini menggambarkan situasi dimana orang tua mau tidak mau harus belajar, atau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Anak, dalam konteks peribahasa tersebut, dapat diartikan sebagai kaum muda. Dengan kata lain, orang tua yang seharusnya mengasuh dan menghidupi anaknya kini terbalik harus menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya.

Contoh baiknya, jika ada orang tua yang benar-benar menghabiskan (menjual) harta bendanya untuk menyekolahkan anak. Maka setelah si anak selesai menempuh pendidikannya hingga perguruan tinggi kemudian bekerja, mau tidak mau si orang tua terpaksa ikut anaknya karena sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi. Seluruh kebutuhan hidupnya akhirnya pun ditanggung oleh anak.

Contoh jeleknya, jika ada orang tua yang menghabiskan harta bendanya untuk memburu kesenangan duniawi semata untuk berfoya-foya dan sebagainya, akibatnya di hari tua dia terpaksa “numpang hidup” kepada anaknya.

Contoh lainnya adalah, di jaman sekarang ini, teknologi berkembang dengan pesatnya. Maka yang mudalah yang mampu menguasai teknologi tersebut sehingga banyak para generasi tua harus belajar teknologi yang baru dan canggih kepada para kaum muda.

Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni
Artinya, blilu tau (bodoh pernah), pinter durung nglakoni (pandai belum mengalami). Bila diterjemahkan secara bebas adalah pernah menjadi si bodoh tetapi belum pernah menjadi si pandai. Ungkapan ini merupakan gambaran dari orang yang tidak pandai dalam hal teori, tetapi cukup ahli (terampil) dalam mengerjakan sesuatu hal karena sudah berpengalaman. Contoh dari peribahasa ini adalah seorang petani. Jika diperhatikan, jarang petani yang ada di pedesaan yang berpendidikan tinggi. Tetapi, semuanya mampu bertani, bercocok tanam, dan beternak. Semuanya mereka lakukan dengan cukup andal. Dari mana ilmu pertanian (bertani) itu didapat.

Jawabannya cukup sederhana, yaitu dari pengalaman. Dari praktik keseharian sambil memperhatikan dan meniru bagaimana orang tua, saudara, atau tetangga melakukan pekerjaan tersebut. Pesan utama dari peribahasa ini adalah jangan takut mencoba mengerjakan segala sesuatu meskipun belum memiliki teori yang cukup. Artinya, memahat kayu, mencangkul sawah, dan sebagainya adalah bukan pekerjaan yang sulit. Dengan banyak mencoba dan tidak banyak keraguan kemudian mengerjakannya seperti orang lain melakukannya maka akan terampil juga. Asalkan berhati-hati, tekun, telaten, dan pantang menyerah. Memang, dalam hal ilmu, petani kalah dengan sarjana pertanian. Namun dengan pengalamannya, untuk menghasilkan padi, palawija, dan sayuran, keterampilan para petani dapat diandalkan.
 

Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
Artinya, desa mawa cara (desa mempunyai adat sendiri), negara mawa tata (negara memiliki tatanan, aturan, atau hukum tertentu). Peribahasa tersebut memuat inti dari pandangan kalangan tradisional Jawa yang menghargai adanya pluralitas dengan segala perbedaan adat kebiasaannya. Kaitannya dengan pandangan ini, desa telah membentuk kebiasaan (angger-angger) untuk lingkungan sendiri yang cenderung lebih lentur. Sementara negara memang memerlukan hukum atau peraturan yang lebih tegas, namun bersumber pada adat-istiadat yang tumbuh berkembang di masyarakat.

Peribasaha ini juga mengingatkan kepada para pendatang yang tinggal di daerah lain. Di mana pun berada, seseorang harus pandai-pandai memahami, menghormati, dan menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat. Seperti peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mana yang disetujui digunakan, mana yang tidak disepakati jangan diterapkan. Meskipun demikian, janganlah melecehkan nilai-nilai yang tidak disetujui, terlebih bermaksud mengubahnya secara drastis. Sebab, perbuatan tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan pihak lain yang berujung pada konflik yang tidak diiginkan.

Kebo Kabotan Sungu
Artinya, kerbau keberatan tanduk. Peribahasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang tua yang terlalu berat menanggung beban hidup karena terlampau banyak anak.

Di masa lalu, banyak pasangan suami istri di Jawa yang memiliki anak lebih dari lima, dengan alasan banyak anak banyak rejeki. Namun, yang terjadi sebaliknya. Dengan penghasilan pas-pasan maka beban hidupnya semakin berat sehingga anak-anaknya yang masih kecil harus keluar dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan perekonomia keluarga. Sesuai dengan kodratnya, kerbau hanya mempunyai dua tanduk. Bisa dibayangkan bila mempunyai empat tanduk atau lebih, maka dia akan menderita karena berat tanduk yang berlebihan itu. Demikian juga dengan manusia, apabila jumlah anaknya banyak maka beban hidupnya juga semakin berat. 

Sumber : http://bocahe.blog.com/

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More