BATIK KAWUNG mungkin sudah tidak asing bagi telinga kita, sebab motif batik ini termasuk salah satu motif batik tertua. Jika diperhatikan, motif batik kawung memiliki irama dalam repetisi pola lingkaran geometris yang saling beririsan.
Dalam falsafah Jawa tempat berkembangnya tradisi batik, motif kawung memiliki nilai filosofis tersendiri berikut etika-etika penggunaannya. Motif ini juga muncul dalam seni sungging wayang, dan menjadi ornamen busana dalam pementasan kesenian tradisional seperti wayang wong maupun ketoprak.
Dewasa ini, motif kawung dikembangkan menjadi motif dasar yang digabungkan dengan motif lain untuk mencapai inovasi keindahan baru. Motif kawung dengan mudah ditemukan dalam corak batik populer, namun sangat sulit menemukan kain batik yang benar-benar murni bermotif kawung.
Filosofi Kawung
Dinamakan batik kawung karena motif yang dipakai merupakan stilasi dari penampang buah aren (kawung.) Bentuk dasarnya berupa empat lingkaran oval yang hampir menyentuh satu sama lain dengan simetris, yang jika diperhatikan lebih saksama menimbulkan ilusi optik dengan munculnya bentuk bunga empat kelopak. Masing-masing kelopak berbentuk runcing ramping.
Aren sebagai penghasil gula yang menyimbolkan rasa manis, memiliki filosofi keagungan dan kebijaksanaan. Pohonnya yang lurus tanpa cabang melambangkan keadilan. Karena itu, motif batik kawung memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi tentang kekuasaan yang adil dan bijaksana.
Bunga empat kelopak dianggap representasi dari lotus (bunga teratai). Bunga ini dalam falsafah Jawa Kuno mengandung makna kesucian. Sementara stilasi bunga dan buah secara umum memiliki makna kesuburan dan harapan.
Batik kawung mengandung falsafah kehidupan yang sangat dalam dan suci tentang asal muasal penciptaan manusia, umur panjang yang dimaknai sebagai perjalanan menuju kehidupan abadi. Karena itulah maka dalam beberapa tradisi Jawa, batik kawung biasa digunakan untuk menyelimuti jenazah sebagai perlambang perjalanan panjang menuju keabadian yang sedang ditempuh oleh roh.
Empat unsur bunga kawung yang saling beririsan secara simetris dengan menyisakan ruang kosong di titik pusat, dimaknai juga sebagai kiblat papat lima pancer, falsafah adiluhung Jawa yang bermakna: memandang dari empat perspektif mata angin untuk mendapatkan cahaya (pancer) kebijaksanaan.
Ragam Motif Kawung
Dengan berbagai makna filosofi yang terkandung di dalamnya, batik kawung di masa awal adalah batik khusus untuk busana keluarga keraton. Dalam seni pewayangan, motif kawung merupakan busana punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Punakawan ini meskipun berderajat abdi dalem, namun kedudukannya dalam spiritual Jawa sangat tinggi, merupakan lambang kejujuran dan kebijaksanaan.
Banyak motif kawung yang bisa dijumpai, misalnya kawung picis, kawung bribil, dan kawung sen. Motif kawung juga banyak divariasikan dengan berbagai motif lain sehingga menghasilkan motif baru yang tak kalah indah, seperti kawung ceplok, truntum, dan sidomukti.
Beberapa ornamen batik yang menyertai kawung biasanya berupa:
1. Garuda, jenis burung dalam mitologi Jawa yang melambangkan alam atas atau kehidupan roh. Garuda juga melambangkan keperkasaan dan kekuatan. Jarang ditemukan motif garuda utuh, biasanya hanya mengambil dari unsur sayap, bulu, cakar, atau ekornya.
2. Meru, atau gunung, yang secara geometris berbentuk segitiga. Gunung menyimbolkan tempat persemayangan dewa dan perlindungan bagi binatang maupun tumbuhan.
3. Cemukiran atau modang, yang merupakan ornamen lidah api. Ornamen ini melambangkan kemauan yang kuat, semangat, dan usaha yang tidak pernah mengenal menyerah.
Kawung adalah motif batik bergambar kembang kolang-kaling (bunga pohon aren). Pohon aren, dari akar, batang, buah, dan daunnya semua bisa dimanfaatkan. Mengingatkan kita sebagai manusia untuk melihat lagi apa yang ada dalam diri kita, dan setiap senti yang kita miliki hendaknya kita pikirkan bagaimana kebermanfaatannya untuk sesama. Dalam kehidupan sehari-hari, mari kita pikirkan setiap senti potensi yang kita miliki bagaimana memaksimalkannya untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Manusia terkadang terjebak merendahkan potensi yang dimilikinya dan meng-iri kan potensi yang dimiliki orang lain. coba perhatikan lagi kemampuan kita berpikir, bicara, menulis, menggambar, membuat puisi, fotografi, menghitung, ilmu yang pernah kita pelajari di bangku kuliah, dll….semuanya dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Kawung juga mengingatkan kita bahwa setinggi-tingginya manusia meraih sesuatu di dunia ini, pada akhirnya kita semua akan kembali ke alam Sawung (alam akhirat). Itu kenapa batik ‘kawung lawasan’ kadang dipakai sebagai jarik penutup orang mati. Apa jadi menakutkan ? kalau buat saya tidak. Saya malah berterimakasih kalau ada yang mengingatkan bahwa dunia ini tidak selamanya, hanya semacam panggung tempat kita sebagai aktor memainkan peran yang Tuhan tetapkan untuk kita mainkan. Jadi saya sebagai manusia selalu ingat untuk semeleh menjalani hidup, tidak ‘kadonyan-donyan’ (menggilai dunia). Usaha maksimal dengan setiap potensi yang dititipkan pada kita itu wajib. Untuk memakmurkan dunia, sebagai khalifah kita musti berbuat yang terbaik dengan yang kita miliki, tapi mengenai hasil dan apa yang kita peroleh, itu bukan urusan kita. Belajar dari motif KAWUNG, belajar hidup tidak di permukaan. Belajar tidak mengidentikkan diri dengan external things. Karena kita bukan benda-benda canggih itu, karena kita bukan gelar-gelar di belakang nama, karena kita bukan setiap merk yang tertera di sepatu, handphone, dasi, dan kemeja yang kita pakai. Jika kita menggunakannya , pastikan betul kita paham tujuannya dan cara memaksimalkannya untuk kemslahatan, jangan menjadi terikat dengannya. Memerangkap diri kita dengan hal-hal eksternal ini sama saja dengan menggadaikan kemerdekaan kita, kedamaian kita, identitas sejati kita sebagai manusia dan value yang terkandung di dalamnya
Sumber : http://adegusti.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment