Kata Kunci: Letak geografis, Korelasi, Tokoh-tokoh, Pasarean Srandil
Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja pada tahun 1805, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja, putra dari Kyai Sutowijoyo, putra dari Kyai Sutojoyo, putra dari Kyai Ageng Cucuk Singowongso, putra dari Kyai Ageng Cucuk Dhepok, putra dari Kyai Ageng Cucuk Telon, putra dari Kyai Ageng Karangelo, putra dari Kyai Ageng Ampunan, putra dari Panembahan Jogorogo, putra dari Raden Alit, putra dari Raden Patah, putra dari Raden Patah, putra dari Brawijaya V raja Majapahit.
Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Kemudian atas perantaraan temannya, Wirareja diangkat sebagai pegawai Istana Surakarta yang bekerja sebagai pembaca tembang istana. Wirareja memiliki seorang puteri yang cantik yang bernama Roro Handawiyah (Roro Berook) “si Penari Bedaya Istana”. Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Wirareja nantinya diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.
Bupati Somoroto 1
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja yang laki-laki (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru. Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata).
Secara de facto Kabupaten Somoroto mulai berdiri pada tahun 1780, tetapi secara de jure baru berdiri tahun 1805, yaitu saat Sunan Pakubuwono IV (putra dari Sunan Pakubuwono III) secara resmi mengangkat Prawiradirja sebagai bupati di derah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Wilayahnya mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten Ponorogo warisan Bathara Katong dengan batas Sungai Sekayu ke barat terus ke selatan sampai ke Selahung. Pusat pemerintahannya (pendopo kabupaten) terletak di tapal batas Desa Carat dengan Desa Kauman yang sekarang ditempati SMAN 1 Kauman. Sedangkan alun-alunnya sekarang menjadi Puskesmas dan Kantor Kecamatan Kauman, dan masjidnya menjadi Masjid Jami’ Kauman sekarang. Berdirinya kabupaten baru tersebut juga direstui oleh Bupati Ponorogo Raden Tumenggung Surodiningrat I, pamannya sendiri karena istri dari sang bupati adalah adik dari ayahanda Raden Tumenggung Wirareja.
Berdirinya Kabupaten Somoroto sangat penting untuk mengamankan daerah Ponorogo, terutama bagian barat. Hal ini dikarenakan situasi Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan dalam keadaan kacau. Kekacauan ini dipicu oleh ulah bupatinya sendiri yang hanya mengutamakan kesenangan dirinya sendiri daripada memperhatikan kehidupan rakyatnya. Sang bupati, Raden Tumenggung Surodiningrat I memiliki 23 istri dan selir dengan memiliki anak sebanyak 135 orang. Akibatnya anak-anak beliau saling berebut kekuasaan sehingga suasana pemerintahan di Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan sangat kacau. Berdirinya Kabupaten Somoroto tentunya mendapat dukungan masyarakat banyak terutama masyarakat yang tinggal di sebelah barat Sungai Sekayu yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan.
Bupati Somoroto II
Setelah Raden Mas Tumenggung Prawiradirja meninggal dunia, Kabupaten Somoroto kemudian diperintah oleh putranya yang bernama Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II). Masa pemerintahan beliau bersamaan dengan Perang Diponegoro (1825-1830) dan pelaksanaa Tanam Paksa (1830-1870). Pada masa Tanam Paksa, Bangsa Indonesia dipaksa oleh Pemerintah Belanda untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, khusus untuk daerah Ponorogo diwajibkan untuk menanam kopi dan tom (bahan untuk membuat batik atau tekstil).
Pelaksanaan Taman Paksa ini diserahkan sepenuhnya kepada bupati masing-masing. Selain itu untuk mensukseskan pelaksanaan Tanam Paksa, Pemerintah Belanda memberi iming-iming hadiah atau persen kepada para bupati yang bisa mengumpulkan hasil pertanian melebihi ketentuan ynag ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Akibatnya banyak bupati yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah dengan cara memaksa rakyatnya untuk bekerja melebihi kemampuannya.
Berbeda dengan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, beliau adalah seorang bupati yang berwawasan ke depan, beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau sadar jika rakyat Somoroto dipaksa untuk menanam kopi dan tom, yang akan terjadi adalah bencana kelaparan.Sebab kopi dan tom bukan makanan pokok yang dapat memenuhi kehidupan rakyat Somoroto, tetapi semata-mata untuk memenuhi kepentingan penjajah yang serakah sehingga rakyat Somoroto tidak diperintah untuk menanam kopi dan tom, tetapi rakyatnya diperintah untuk tetap menanam padi.
Peristiwa tersebut diketahui oleh pihak Belanda, yang membuat Raden Mas Tumenggung Sumonagoro dipanggil ke Surabaya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Meskipun beliau sudah mengemukakan alasan yang sangat rasional tentang penolakan penanaman kopi dan tom, namun pihak Belanda tetap tidak mempedulikan, bahkan beliau dijatuhi hukuman yaitu dibuang ke Sulawesi. Sebelum beliau dibuang ke Sulawesi, beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, kemudian jenazahnya dimakamkan di Ampel Surabaya. Sepeninggal Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodirjo.
Bupati Somoroto III
Pada masa pemerintahan Raden Mas Brotodirjo (Bupati Somoroto III), tepatnya pada tahun 1837 atas campur tangan pemerintah Belanda dengan alasan untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah Ponorogo dan sekitarnya, Pemerintah Belanda berkeinginan untuk menggabungkan empat kabupaten yang ada di Ponorogo menjadi satu. Tetapi keinginan Belanda tersebut ditentang oleh bupati Somoroto Raden Mas Brotodirjo ”jika Kabupaten Somoroto dihapus dan digabung menjadi satu kabupaten dengan ketiga kabupaten lainnya, kami tidak bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan dimana-mana”.
Ancaman Bupati Somoroto tersebut bukan hanya omong kosong. Pemerintah Belanda yang ada di Ponorogo dan Madiun menyadari kalau situasinya belum kondusif. Secara nasional, pemerintah Belanda baru saja memadamkan Perlawanan Pangeran Diponegoro, dan pada masa itu pula pemerintah Belanda masih berusaha memadamkan Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Sedangkan di daerah Ponorogo, pemerintah Belanda baru saja memadamkan perlawanan Tumenggung Polorejo. Situasi yang kurang kondusif itu mengakibatkan pemerintah Belanda mengabulkan permintaan Bupati Somoroto untuk tetap berdiri sendiri lepas dari Kabupaten Ponorogo Kota Tengah. Sehingga pada tahun 1837 di Ponorogo hanya terdapat dua kabupaten, yang pertama yaitu Kabupaten Ponorogo Kota Tengah yang merupakan gabungan dari Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan, Kabupaten Pedanten dan Kabupaten Polorejo, dan yang kedua yaitu Kabupaten Somoroto itu sendiri yang biasa disebut Kutho Kilen.
Pada tahun 1855 Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia dalam usia 45 tahun yang jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil. Sedangkan pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati Somoroto IV
Secara geneologis, Raden Mas Brotodiningrat Bupati Somoroto IV ini masih ada keturunan darah raja-raja Madura, terutama dari pihak ibu, yaitu keturunan Sultan Bangkalan I. Sultan Bangkalan I memiliki anak yang bernama Raden Ayu Andajasmani yang menjadi permaisuri dari Sunan Pakubuwono IV raja Surakarta yang kemudian menurunkan Sunan Pakubuwono V. Sunan Pakubuwono V memiliki putra yang bernama Pangeran Sindusenan. Pangeran Sindusenan memiliki putri Raden Ayu yang kemudian menjadi istri dari Raden Mas Brotodirjo
Bupati Somoroto III yang menurunkan Raden Mas Brotodiningrat.
Pada waktu ayahandanya Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia pada tahun 1855, Raden Mas Brotodiningrat masih berumur 6 tahun. Oleh karena itu pemerintahan di Somoroto diwakilkan kepada patihnya, Raden Mas Sumoatmodjo (1855-1869). Baru pada tahun1869 beliau diangkat sebagai Bupati SomorotoIV sampai tahun 1877. Selama memerintah di Somoroto, tidak ada berita tentang pemerintahannya. Namun yang jelas sejak tahun 1877 Kabupaten Somoroto dihapus yang kemudian digabung dengan Kabupaten Ponorogo Kutho Tengah. Agar tidak terjadi gejolak,
Raden Mas Brotodiningrat dialih tugaskan oleh pemerintah Belanda menjadi Bupati Ngawi, dan beberapa tahun kemudian dipindah menjadi Bupati Madiun. Selama beliau memerintah di Madiun beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau berhasil menyelamatkan rakyatnya diambang kelaparan.
Keberhasilan Bupati keturunan darah Madura tersebut dalam membela rakyatnya dari pihak Belanda mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama dari bupati-bupati yang ada di wilayah Karesidenan Madiun. Bahkan penguasa Kasunanan Surakarta Sunan Pakubuwono VII menganugerahi gelar “adipati” pada sang bupati, sehingga namanya menjadi Raden Mas Adipati Brotodiningrat. Beliau meninggal dunia pada 1927, jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil.
Pasarean Srandil
Pasarean (Astana) Srandil terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto.
Ditinjau dari segi geografis, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang saling sambung menyambung yang semuanya berjumlah lima bukit. Jika diurutkan mulai dari barat ke timur, kelima bukit tersebut adalah Bukit Lemu, Bukit Bancak, Bukit Ngrayu, Bukit Srayu, dan Bukit Srandil. Sedangkan Pasarean Srandil terletak di Bukit Srayu yang artinya “Sugeng Rahayu” atau bukit pembawa keselamatan.
Tokoh pertama yang dimakamkan dan yang menjadi cikal bakal berdirinya Pasarean Srandil adalah Raden Mertokusumo, yaitu patih dari Kabupaten Polorejo yang menjadi pendukung Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.
Setelah Raden Tumenggung Brotonegoro Bupati Polorejo gugur dalam melawan penjajah Belanda, patihnya yang bernama Raden Dipotaruno berhasil meloloskan diri, kemudian beliau melarikan diri ke Desa Srandil dan bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Setelah situasinya aman, beliau memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan diperkirakan sejak saat itu beliau berganti nama menjadi Raden Mertokusumo dalam usaha menghindari usaha pengejaran prajurit Belanda. Oleh karena itu masyarakat Srandil lebih mengenal nama Raden Mertokusumo daripada Raden Dipotaruno sampai sekarang. Di Desa Srandil, Raden Mertokusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari, yakni tokoh pertama yang membuka (membabat) Desa Srandil. Kedua tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat Srandil sampai sekarang.
Sebelum Raden Mertokusumo meninggal dunia,beliau berpesan kepada masyarakat Srandil, bahwa jika beliau meninggal dunia, jenazahnya supaya dimakamkan di Bukit Srayu yang artinya Sugeng Rahayu atau bukit pembawa keselamatan. Karena atas pertolongan Allah, di Bukit Srayu itulah beliau berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
Pada waktu Kabupaten Somoroto diperintah oleh Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II) sekitar tahun 1830-an, beliau mengajukan permohonan kepada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono IV agar Desa Srandil yang luasnya 70 hektar dijadikan sebagai daerah perdikan (bebas pajak) untuk menjaga dan memelihara Pasarean Srandil dan sekaligus akan dijadikan sebagai pemakaman para keturunan bupati Somoroto. Dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Sunan Pakubuwono IV. Kemungkinan pembuatan pagar keliling yang berukuran 24m x 24m pada Pasarean Srandil yang tetap kokoh sampai sekarang sudah dimulai pada masa pemerintahan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1931 sesuai petunjuk papan nama yang terdapat pada Pasarean Srandil.
Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa).
Ditinjau dari segi tata letak makam, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang menganut pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman. Halaman pertama berada di luar gedung, sedangkan pelataran kedua dan ketiga berada di dalam gedung. Pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman tersebut merupakan budaya asli bangsa Indonesia, yakni menyerupai punden berundak-undak, yaitu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berbentuk piramida berteras, dimana bagian belakang lebih tinggi dari bagian depan.
Biasanya pada halaman belakang (halaman ketiga) terdapat makam yang paling dikeramatkan. Terbukti selain terdapat makam Raden Mertokusumo sebagai cikal bakal Pasarean Srandil, juga terdapat dua makam bupati Somoroto, yakni makam Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III dan makam Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Somoroto IV. Lain halnya dengan makam Raden Mas Tumenggung Prawiradirja Bupati Somoroto I, makamnya berada di Pasarean Setono Ponorogo, sedangkan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro Bupati Somoroto II makamnya berada di Ampelgading Surabaya.
Ditinjau dari segi arsitektur makam, adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.
Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja. Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Wirareja mempunyai puteri yang bernama Roro Handawiyah (Roro Berok). Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Akhirnya Wirareja diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru. Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata). Yang akhirnya Prawiradirja diangkat sebagai bupati di daerah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Selain Prawiradirja, bupati-bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Somoroto yaitu Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, Raden Mas Brotodirjo, dan Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati-bupati Somoroto yang meninggal, selanjutnya dimakamkan di Pasarean (Astana) Srandil yang terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto. Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa). adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.
Sumber : http://nikenpranandari.blogspot.com