Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang “Islam dan Pancasila”, dibawah ini adalah tulisan kedua dari Buya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 22 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)”. Setelah tulisan sebelumnya yang lebih melihat aspek hitoris tentang “Persahabatan Islam dan Pancasila“, maka tulisan kedua ini sepertinya lebih menekankan pada sebuah refleksi dari konteks kekinian akan buah persahabatan itu. Berikut petikan tulisannya :
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Lalu, setelah perdamaian abadi antara Islam dan Pancasila terwujud melalui proses yang ruwet, apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif? Inilah pertanyaan kunci yang hendak dicarikan jawabannya berikut ini, yang mungkin saja berseberangan dengan penilaian tuan dan puan.
Menurut penglihatan saya, baik Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Kesenjangan sosial-ekonomi sampai detik ini masih terlalu lebar untuk dapat dijembatani.
Para elite bangsa lebih banyak sibuk dengan dirinya sementara rakyat miskin tetap berada dalam lingkaran kemiskinannya. Jika pengamatan ini benar maka bangsa dan negara ini sedang dihadapkan kepada masalah-masalah fundamental yang sangat serius. Mengapa serius? Penjelasan sederhananya adalah karena Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar.
Sikap berpura-pura para elite bangsa sedang mendominasi panggung sejarah Indonesia modern tanpa rasa malu sedikit pun. Para elite ini tentu sebagian besar sebagai pemeluk Islam sesuai dengan data demografis yang disepakati. Tetapi, ini tidak berarti bahwa kelompok yang non-Muslim pasti lebih baik secara moral dibandingkan saudara-saudaranya pemeluk Islam.
Dengan kata lain, bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini seolah-olah terkapar secara moral akibat ulah anak-anaknya sendiri yang rapuh dalam karakter. Buktinya, antara kata dan laku sudah lama tak tersambung. Agama dan Pancasila seperti telah kehabisan daya dan kekuatan untuk meluruskan kelakuan mereka yang tunamoral itu.
Setelah Islam dan Pancasila bergandengan tangan, semestinya dua kekuatan ini menjadi landasan moral dan konstitusi untuk membangun bangsa ini secara benar, teratur, dan konsekuen. Tetapi, semuanya tidak terjadi karena mental sebagian besar politikus yang menguasai gelanggang permainan sudah rusak parah.
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk.
Kedaulatan ekonomi kita sebagian sudah tergenggam di tangan asing, langsung atau tidak langsung. Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Bagi saya, semua ini adalah tragedi yang semestinya tidak perlu berlaku dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Lalu, di mana demokrasi yang kita anut sebagai sistem politik menggantikan sistem otoritarian yang dulu kita kutuk sekeras-kerasnya? Demokrasi ada bersama kita, tetapi sebegitu jauh belum berfungsi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan konstitusi kita.
Agar kita tidak putus asa dalam kondisi yang semacam ini maka stamina spiritual harus tetap prima dan terus bekerja keras bersama-sama untuk menciptakan sebuah perubahan mendasar dalam arti yang otentik konstitusional.
Fungsi Pancasila yang disinari nilai spiritual agama harus dikukuhkan kembali untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang lagi oleng di tangan mereka yang cacat secara moral konstitusional.
Perubahan itu pasti datang sebab keterkecohan rakyat oleh segala bentuk janji dan citra selama ini semoga tak terulang lagi. Akhirnya, dengan semakin kokohnya persahabatan Islam dan Pancasila, kita sudah punya modal strategis yang dahsyat dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa dan negara kita sekarang dan di masa datang. Dua kekuatan ini harus secepatnya berada di tangan mereka yang bermoral dan punya karakter kuat penaka batu karang.
****
Diakhir tulisan pertama “Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?“, saya menuliskan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri……. dengan mencoba membayangkan apa yang akan ditulis oleh Buya Syafii Maarif tentang persahabatan Islam dan Pancasila. Ternyata dugaan saya sedikit kena, bahwa beliau akan mengungkapkan kenyataan-keyataan sekarang yang sebetulnya lebih dari sekedar kegagalan-kegagalan dalam membangun landasan hidup bernegara dan bermasyarakat.
Dari pertanyaan “apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif?” maka jawaban tegasnya adalah TIDAK !!! dengan pengamatan obyektif setidaknya dari tulisan diatas ditemukan beberapa hal diantaranya :
Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Pertanyaan mendasarnya mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Kalimat yang mengusik kita bersama dari tulisan diatas adalah ……….. jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ya… Jika saja, andaikan, kalau … adalah kata-kata mimpi atau lebih kerennya harapan manakala kita tidak sadar bahwa ibu pertiwi punya rahim yang mampu melahirkan dan rahim dari ibu pertiwi adalah revolusi. Sekali lagi bahwa rahim dari ibu pertiwi itu bernama REVOLUSI.
Bila sejarah boleh memakai kata ” Jika saja”… Jika saja “Piagam Jakarta” tidak dicoret …. Jika saja “Dekrit 5 Juli 1959″ tidak keluar… Jika saja sejak bangsa ini merdeka mendengarkan suara hati rakyatnya maka mungkin sekarang ….. Tapi sayang, sejarah tidak boleh memakai kata “Jika saja”.
M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
M. Natsir mengajak untuk tidak berandai-andai tapi mengajak untuk bertobat untuk beristighfar bukan untuk mempertahankan “persahabatan kecelakaan” yang tidak melahirkan datangnya “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Sejarah masa depan masih terbentang panjang, generasi masa kini pembuat jalan perintis jejak menyimpan harap, maka saya hanya yakin pada “PEMUDA LANGIT” yang membawa “
Revolusi Dari Langit” dengan harapan yang bukan angan-angan tapi kepastian janji dari Ilahi. Maka selamat datang REVOLUSI sebagai rahim ibu pertiwi yang akan melahirkan para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebuah kemerdekaan yang diawali dengan …. ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.“….. kemerdekaan yang menjadi hak rakyat Indonesia, kemerdekaan yang melahirkan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan yang melahirkan masa depan syajaratin thayyibah atas dasar kalimatan thayibatan
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment