Seorang nenek renta berjalan penuh dengan kesopanan, tubuhnya yang rapuh memaksakan sebuah perjalanan yang lambat dan penuh kehati-hatian. Nenek renta itu berkeinginan mengarungi laut jalanan ibu kota yang berisikan mesin-mesin dengan kelajuan sekilat cahaya. Tidak berdaya, nenek itu lalu mengurungkan niatnya, pasrah dengan keadaan. Datang seorang pemuda, dia adalah seorang pelanggan jalanan, yang selalu menggunakan jalan itu. Tak sengaja pemuda itu menemukan wajah nenek renta yang kebingungan, mencari-cari cara mengarungi lautan mesin diantara kedua trotoar. Wajah nenek itu bercerita, cerita tentang pengharapan, berharap laju mesin-mesin jalanan akan berhenti sejenak, suatu yang mustahil. Wajah nenek itu lalu menyandera si pemuda, pemuda itu terpenjara, dianiaya cerita-cerita luhur wajah seorang nenek renta. Tidak mampu berlari, tak bisa meloloskan diri dari jeratan wajah nenek renta. Pada akhirnya pemuda itu bertanggung jawab atas wajah yang luhur, dia menuntun sang nenek renta melewati mesin-mesin jalanan penuh keberanian. Sesampainya di seberang samudera jalanan, nenek itu mengucapkan “kamu anak yang baik, terimakasih nak”
Pemuda itu kembali melanjutkan perjalanan, perjalanan yang akan cukup panjang menuju sebuah tempat dimana dia sedang gundah hati. Di suatu persimpangan dia kembali mengalami suatu perjumpaan, perjumpaan yang tak terelakan, perjumpaan dengan sosok yang dia kenal, sahabatnya. Pemuda itu kembali teraniaya, dianiaya oleh wajah-wajah sahabatnya, wajah itu mengajak sebuah perdamaian, teduh hati pemuda itu tidak bisa menghindar dari ajakan kesenangan, kesenangan yang dapat menjawab segala perhelatan hidupnya, kesenangan yang menghibur jiwa. Sahabat itu berkata “bersenang-senang adalah sebuah kebaikan”
Pemuda itu pulang dengan jiwa yang lepas, hati yang telah telah terhibur. Pulang ke gubuk, gubuk kesunyian. Pemuda teringat sebuah ucapan, ucapan yang tidak bisa dilupakan, ucapan seorang dokter jiwa “menyenangkan orang lain, adalah suatu kebaikan”. Teringat kembali suatu ucapan lain, ucapan yang pernah terdengar di tempat mimbar rutinitas, disana ada orasi “kebaikan adalah menjalankan perintah Tuhan”. Pemuda itu bingung, penuh dengan keraguan-raguan, ucapan kata-kata hampir tak bermakna. Kebaikan seperti suatu stempel yang dilekatkan oleh permainan, permainan keegoisan. Kata menjadi tak bermakna. Kebaikan adalah pendengaran, yang terdengar sebelumnya, yang benar-benar telanjang. “Baik” adalah atom, sebuah kemurnian, tidak bisa dijelaskan. Dia adalah suatu yang melekat, dilekatkan oleh asumsi. “Baik” itu ibarat sebatang rokok dan segelas kopi. Kenikmatannya adalah menurut selera anda....
Sumber : http://media.kompasiana.com
0 comments:
Post a Comment