Tak cukup hanya menjadi baik, karena kita harus berusaha untuk selalu lebih baik dari sebelumnya. Terus belajar dan segera menjalankan langkah-langkah perbaikan adalah cara untuk selalu lebih baik. Belajar tak harus selalu dari bangku sekolah elit atau buku-buku mahal, melainkan belajar dari kehidupan sehari-hari, pengalaman diri sendiri maupun orang lain, dan lain sebagainya.
Saya senang belajar dari buku, entah buku kuno ataupun terbitan baru, karena dari sanalah saya memetik banyak pelajaran hidup berharga. Salah satu falsafah hidup yang memperluas wawasan hidup saya adalah catatan surat-surat, konon ditulis oleh Zhuge Liang (181-234) untuk anaknya. Zhuge Liang adalah seorang pakar perang dan kemiliteran ternama pada masa San Guo (Sam Kok) di jaman Tiongkok Purba.
Zhuge Liang alias Kong Ming gemar membaca, dan menguasai bermacam ilmu pengetahuan diantaranya ilmu geologi, sejarah, sampai strategi perang. Di usia 27 tahun ia diangkat Raja Shu (Liu Bei) sebagai penasihat kerajaan.
Selama menjadi penasihat, Zhuge Liang pernah menulis sebuah surat kepada anaknya. Isi surat yang ditulis 1.800 tahun yang lalu itu sarat dengan dengan kebijakan yang tak lekang oleh waktu dan perubahan, di antaranya berisi tentang 10 kekuatan manusia, yaitu;
1. Kekuatan Keheningan
Keheningan membantu kita menenangkan diri untuk menjernihkan pikiran. Ia menjelaskan bahwa suasana hening membantu kita melakukan introspeksi diri, mengevaluasi segala tindakan, dan menumbuhkan tekad untuk memperbaiki diri. Ia juga menegaskan bahwa kunci keberhasilan dalam belajar adalah keheningan, sebab dalam keheningan kita dapat menelusuri apa sebenarnya visi dan misi hidup kita.
2. Kekuatan Hidup Hemat
Zhuge Liang memberikan petunjuk bahwa hidup bersahaja akan menyelamatkan diri kita agar tidak diperbudak oleh materi. Hidup sederhana menurut sang penasehat ini membentuk diri kita menjadi manusia yang lebih bermoral. Jangan terseret dalam pola hidup boros, sebab pola hidup boros suatu saat dapat mengubur kita kedalam tumpukan hutang dan puing-puing kehancuran.
3. Kekuatan Membuat Perencanaan
Dalam surat-surat itu Zhuge Liang menegaskan tentang pentingnya merencanakan hidup. Fail to plan means plan to fail - Gagal merencanakan berarti merencanakan untuk gagal. Dengan melakukan perencanaan yang baik, maka kita akan dapat menempatkan prioritas dengan baik pula. Sebaliknya, tanpa perencanaan yang baik akan selalu membuat kita gagal menyelesaikan apapun yang kita kerjakan.
4. Kekuatan Belajar
Zhuge Liang dalam suratnya menyebutkan bahwa keheningan memaksimalkan pencapaian hasil dari tujuan belajar. Ia meyakini bahwa kemampuan manusia bukan berasal dari pembawaan sejak lahir, melainkan merupakan hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan dengan konsisten. Oleh sebab itu ia menyarankan agar kita tak pernah berhenti belajar sampai kapanpun. Sementara dalam proses pembelajaran, kerendahan hati akan sangat membantu kita menyerap dengan mudah ilmu pengetahuan yang dibutuhkan.
5. Kekuatan Nilai Tambah
Nasihatnya ini menekankan kita agar lebih banyak memberi, karena hal itu akan membuat kita lebih banyak menerima. Oleh sebab itu kita harus berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain, diantaranya kepada keluarga, kerabat, teman, konsumen, mitra bisnis, dan lain sebagainya. Bila kita mampu memberikan sesuatu yang ekstra atau nilai tambah terhadap apa yang dibutuhkan orang lain, tentu saja mereka akan senang, merasa tersanjung dan terpesona. Tak heran jika selanjutnya mereka ingin selalu menjalin hubungan yang menguntungkan bagi Anda.
6. Kekuatan Kecepatan
Beliau menesehat anaknya agar tidak menunda-nunda pekerjaan karena penundaan artinya menghambat usaha kita mencapai visi dan misi secepat mungkin. Ia menandaskan agar kita menjalankan segala sesuatu dengan efektif dan efisien waktu. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kemampuan memanajemen waktu. Jika perlu, satu hal dilakukan bersama-sama dengan tim agar lebih cepat terselesaikan, "Alone we can do so little; together we can do so much. - Sendiri kita menyelesaikan sedikit pekerjaan; bersama kita kerjakan sangat banyak pekerjaan," kata Hellen Keller.
7. Kekuatan Karakter
Zhuge Liang menasihati anaknya agar membiasakan diri tidak bersikap tergesa-gesa, sebab segala sesuatu memerlukan proses. Kehati-hatian dalam bersikap dapat membentuk sebuah karakter yang utuh. Dalam pepatah bangsa Tionghoa dikatakan, "Diperlukan waktu hanya sepuluh tahun untuk menanam dan memelihara sebatang pohon, tapi memerlukan waktu paling sedikit 100 tahun untuk membentuk sebuah watak yang utuh."
8. Kekuatan Waktu
Dalam suratnya Zhuge Liang menginginkan anaknya menghargai waktu. Sebab waktu berlalu sangat cepat, tak jarang ikut mengikis semangat dan cita-cita kita. Oleh sebab itu manajemen waktu dengan baik, jangan pernah menyia-nyiakan waktu dengan melakukan aktifitas yang kurang bermanfaat.
9. Kekuatan Imajinasi
Zhuge Liang memberikan nasehat supaya kita berpikir jauh ke depan, agar kita tidak tertinggal oleh jaman yang terus berkembang. Imajinasi tentang masa depan dikatakannya lebih kuat dari pengetahuan. Hal ini juga pernah diucapkan oleh Albert Einstein, "Imagination is everything. It is the preview of life's coming attractions. - Imajinasi adalah segalanya. Imajinasi adalah penarik realitas yang akan datang."
10. Kekuatan Kesederhanaan
Sang penasehat ini mencontohkan kekuatan kesederhanaan dalam setiap surat-suratnya yang singkat dan mudah dimengerti tetapi sarat tuntunan hidup positif. Tidak ada teori atau tuntunan hidup yang muluk-muluk, melainkan kebijaksanaan hidup yang sederhana. Begitupun jika kita ingin menghasilkan prestasi hidup yang luar biasa, tak perlu menggunakan teori yang rumit. Sekalipun tindakan atau langkah-langkah yang kita lakukan sederhana tetapi jika dilakukan dengan konsisten maka kita akan mudah meraih visi dan misi.
"Success is the sum of small efforts, repeated day in and day out. - Sukses merupakan kumpulan dari tindakan-tindakan sederhana, diulang terus setiap hari." Kata Robert Collier, penulis buku terlaris.
Itulah beberapa inti pesan dalam surat-surat Zhuge Liang, yang ditujukan untuk anaknya agar ia mampu berpikir, bersikap dan bertindak lebih baik dari hari ke hari. Kita dapat menyerap pemikirannya untuk menjadi yang terbaik. Jika kita berhasil melakukan yang terbaik artinya kita akan semakin dekat dengan kehidupan yang kita inginkan, kehidupan yang indah.
http://softwaredevilz.blogspot.com
Pages
Rabu, 15 Agustus 2012
Minggu, 05 Agustus 2012
Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat (2)
Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang “Islam dan Pancasila”, dibawah ini adalah tulisan kedua dari Buya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 22 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)”. Setelah tulisan sebelumnya yang lebih melihat aspek hitoris tentang “Persahabatan Islam dan Pancasila“, maka tulisan kedua ini sepertinya lebih menekankan pada sebuah refleksi dari konteks kekinian akan buah persahabatan itu. Berikut petikan tulisannya :
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Lalu, setelah perdamaian abadi antara Islam dan Pancasila terwujud melalui proses yang ruwet, apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif? Inilah pertanyaan kunci yang hendak dicarikan jawabannya berikut ini, yang mungkin saja berseberangan dengan penilaian tuan dan puan.
Menurut penglihatan saya, baik Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Kesenjangan sosial-ekonomi sampai detik ini masih terlalu lebar untuk dapat dijembatani.
Para elite bangsa lebih banyak sibuk dengan dirinya sementara rakyat miskin tetap berada dalam lingkaran kemiskinannya. Jika pengamatan ini benar maka bangsa dan negara ini sedang dihadapkan kepada masalah-masalah fundamental yang sangat serius. Mengapa serius? Penjelasan sederhananya adalah karena Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar.
Sikap berpura-pura para elite bangsa sedang mendominasi panggung sejarah Indonesia modern tanpa rasa malu sedikit pun. Para elite ini tentu sebagian besar sebagai pemeluk Islam sesuai dengan data demografis yang disepakati. Tetapi, ini tidak berarti bahwa kelompok yang non-Muslim pasti lebih baik secara moral dibandingkan saudara-saudaranya pemeluk Islam.
Dengan kata lain, bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini seolah-olah terkapar secara moral akibat ulah anak-anaknya sendiri yang rapuh dalam karakter. Buktinya, antara kata dan laku sudah lama tak tersambung. Agama dan Pancasila seperti telah kehabisan daya dan kekuatan untuk meluruskan kelakuan mereka yang tunamoral itu.
Setelah Islam dan Pancasila bergandengan tangan, semestinya dua kekuatan ini menjadi landasan moral dan konstitusi untuk membangun bangsa ini secara benar, teratur, dan konsekuen. Tetapi, semuanya tidak terjadi karena mental sebagian besar politikus yang menguasai gelanggang permainan sudah rusak parah.
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk.
Kedaulatan ekonomi kita sebagian sudah tergenggam di tangan asing, langsung atau tidak langsung. Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Bagi saya, semua ini adalah tragedi yang semestinya tidak perlu berlaku dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Lalu, di mana demokrasi yang kita anut sebagai sistem politik menggantikan sistem otoritarian yang dulu kita kutuk sekeras-kerasnya? Demokrasi ada bersama kita, tetapi sebegitu jauh belum berfungsi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan konstitusi kita.
Agar kita tidak putus asa dalam kondisi yang semacam ini maka stamina spiritual harus tetap prima dan terus bekerja keras bersama-sama untuk menciptakan sebuah perubahan mendasar dalam arti yang otentik konstitusional.
Fungsi Pancasila yang disinari nilai spiritual agama harus dikukuhkan kembali untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang lagi oleng di tangan mereka yang cacat secara moral konstitusional.
Perubahan itu pasti datang sebab keterkecohan rakyat oleh segala bentuk janji dan citra selama ini semoga tak terulang lagi. Akhirnya, dengan semakin kokohnya persahabatan Islam dan Pancasila, kita sudah punya modal strategis yang dahsyat dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa dan negara kita sekarang dan di masa datang. Dua kekuatan ini harus secepatnya berada di tangan mereka yang bermoral dan punya karakter kuat penaka batu karang.
****
Diakhir tulisan pertama “Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?“, saya menuliskan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri……. dengan mencoba membayangkan apa yang akan ditulis oleh Buya Syafii Maarif tentang persahabatan Islam dan Pancasila. Ternyata dugaan saya sedikit kena, bahwa beliau akan mengungkapkan kenyataan-keyataan sekarang yang sebetulnya lebih dari sekedar kegagalan-kegagalan dalam membangun landasan hidup bernegara dan bermasyarakat.
Dari pertanyaan “apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif?” maka jawaban tegasnya adalah TIDAK !!! dengan pengamatan obyektif setidaknya dari tulisan diatas ditemukan beberapa hal diantaranya :
Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Pertanyaan mendasarnya mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Kalimat yang mengusik kita bersama dari tulisan diatas adalah ……….. jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ya… Jika saja, andaikan, kalau … adalah kata-kata mimpi atau lebih kerennya harapan manakala kita tidak sadar bahwa ibu pertiwi punya rahim yang mampu melahirkan dan rahim dari ibu pertiwi adalah revolusi. Sekali lagi bahwa rahim dari ibu pertiwi itu bernama REVOLUSI.
Bila sejarah boleh memakai kata ” Jika saja”… Jika saja “Piagam Jakarta” tidak dicoret …. Jika saja “Dekrit 5 Juli 1959″ tidak keluar… Jika saja sejak bangsa ini merdeka mendengarkan suara hati rakyatnya maka mungkin sekarang ….. Tapi sayang, sejarah tidak boleh memakai kata “Jika saja”.
M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
M. Natsir mengajak untuk tidak berandai-andai tapi mengajak untuk bertobat untuk beristighfar bukan untuk mempertahankan “persahabatan kecelakaan” yang tidak melahirkan datangnya “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Sejarah masa depan masih terbentang panjang, generasi masa kini pembuat jalan perintis jejak menyimpan harap, maka saya hanya yakin pada “PEMUDA LANGIT” yang membawa “
Revolusi Dari Langit” dengan harapan yang bukan angan-angan tapi kepastian janji dari Ilahi. Maka selamat datang REVOLUSI sebagai rahim ibu pertiwi yang akan melahirkan para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebuah kemerdekaan yang diawali dengan …. ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.“….. kemerdekaan yang menjadi hak rakyat Indonesia, kemerdekaan yang melahirkan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan yang melahirkan masa depan syajaratin thayyibah atas dasar kalimatan thayibatan
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (2)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Lalu, setelah perdamaian abadi antara Islam dan Pancasila terwujud melalui proses yang ruwet, apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif? Inilah pertanyaan kunci yang hendak dicarikan jawabannya berikut ini, yang mungkin saja berseberangan dengan penilaian tuan dan puan.
Menurut penglihatan saya, baik Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Kesenjangan sosial-ekonomi sampai detik ini masih terlalu lebar untuk dapat dijembatani.
Para elite bangsa lebih banyak sibuk dengan dirinya sementara rakyat miskin tetap berada dalam lingkaran kemiskinannya. Jika pengamatan ini benar maka bangsa dan negara ini sedang dihadapkan kepada masalah-masalah fundamental yang sangat serius. Mengapa serius? Penjelasan sederhananya adalah karena Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar.
Sikap berpura-pura para elite bangsa sedang mendominasi panggung sejarah Indonesia modern tanpa rasa malu sedikit pun. Para elite ini tentu sebagian besar sebagai pemeluk Islam sesuai dengan data demografis yang disepakati. Tetapi, ini tidak berarti bahwa kelompok yang non-Muslim pasti lebih baik secara moral dibandingkan saudara-saudaranya pemeluk Islam.
Dengan kata lain, bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini seolah-olah terkapar secara moral akibat ulah anak-anaknya sendiri yang rapuh dalam karakter. Buktinya, antara kata dan laku sudah lama tak tersambung. Agama dan Pancasila seperti telah kehabisan daya dan kekuatan untuk meluruskan kelakuan mereka yang tunamoral itu.
Setelah Islam dan Pancasila bergandengan tangan, semestinya dua kekuatan ini menjadi landasan moral dan konstitusi untuk membangun bangsa ini secara benar, teratur, dan konsekuen. Tetapi, semuanya tidak terjadi karena mental sebagian besar politikus yang menguasai gelanggang permainan sudah rusak parah.
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk.
Kedaulatan ekonomi kita sebagian sudah tergenggam di tangan asing, langsung atau tidak langsung. Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Bagi saya, semua ini adalah tragedi yang semestinya tidak perlu berlaku dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Lalu, di mana demokrasi yang kita anut sebagai sistem politik menggantikan sistem otoritarian yang dulu kita kutuk sekeras-kerasnya? Demokrasi ada bersama kita, tetapi sebegitu jauh belum berfungsi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan konstitusi kita.
Agar kita tidak putus asa dalam kondisi yang semacam ini maka stamina spiritual harus tetap prima dan terus bekerja keras bersama-sama untuk menciptakan sebuah perubahan mendasar dalam arti yang otentik konstitusional.
Fungsi Pancasila yang disinari nilai spiritual agama harus dikukuhkan kembali untuk menyelamatkan bangsa dan negara yang lagi oleng di tangan mereka yang cacat secara moral konstitusional.
Perubahan itu pasti datang sebab keterkecohan rakyat oleh segala bentuk janji dan citra selama ini semoga tak terulang lagi. Akhirnya, dengan semakin kokohnya persahabatan Islam dan Pancasila, kita sudah punya modal strategis yang dahsyat dalam membangun dan menjaga keutuhan bangsa dan negara kita sekarang dan di masa datang. Dua kekuatan ini harus secepatnya berada di tangan mereka yang bermoral dan punya karakter kuat penaka batu karang.
****
Diakhir tulisan pertama “Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?“, saya menuliskan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri……. dengan mencoba membayangkan apa yang akan ditulis oleh Buya Syafii Maarif tentang persahabatan Islam dan Pancasila. Ternyata dugaan saya sedikit kena, bahwa beliau akan mengungkapkan kenyataan-keyataan sekarang yang sebetulnya lebih dari sekedar kegagalan-kegagalan dalam membangun landasan hidup bernegara dan bermasyarakat.
Dari pertanyaan “apakah negeri ini menjadi semakin adil dan sejahtera berdasarkan pengamatan yang objektif?” maka jawaban tegasnya adalah TIDAK !!! dengan pengamatan obyektif setidaknya dari tulisan diatas ditemukan beberapa hal diantaranya :
Islam maupun Pancasila atau Islam yang sudah bersahabat dengan Pancasila, keduanya setengah gagal untuk tidak dikatakan gagal dalam merealisasi kan tujuan-tujuan moralnya untuk kepentingan rakyat banyak. Pertanyaan mendasarnya mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sama-sama disandera oleh para petualang politik dan ekonomi sehingga jeritan keadilan rakyat banyak sudah hampir tidak ada lagi telinga yang mau mendengar. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Pragmatisme politik telah menggusur posisi agama dan Pancasila sampai pada titik nadir. Akibatnya, bangsa dan negara ini sekarang ibarat layang-layang putus tali, entah di mana dan ke mana akan hinggap. Atau, ibarat pohon yang sedang merana, ke atas tak berpucuk ke bawah akarnya mulai membusuk. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Islam dan Pancasila sudah tersungkur sebagai kekuatan perlawanan terhadap rongrongan asing dan agen-agen domestiknya. Kembali pertanyaan mendasarnya adalah mestikah ini dipertahankan?
Kalimat yang mengusik kita bersama dari tulisan diatas adalah ……….. jika saja dari rahim ibu pertiwi lahir para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ya… Jika saja, andaikan, kalau … adalah kata-kata mimpi atau lebih kerennya harapan manakala kita tidak sadar bahwa ibu pertiwi punya rahim yang mampu melahirkan dan rahim dari ibu pertiwi adalah revolusi. Sekali lagi bahwa rahim dari ibu pertiwi itu bernama REVOLUSI.
Bila sejarah boleh memakai kata ” Jika saja”… Jika saja “Piagam Jakarta” tidak dicoret …. Jika saja “Dekrit 5 Juli 1959″ tidak keluar… Jika saja sejak bangsa ini merdeka mendengarkan suara hati rakyatnya maka mungkin sekarang ….. Tapi sayang, sejarah tidak boleh memakai kata “Jika saja”.
M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
M. Natsir mengajak untuk tidak berandai-andai tapi mengajak untuk bertobat untuk beristighfar bukan untuk mempertahankan “persahabatan kecelakaan” yang tidak melahirkan datangnya “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”.
Sejarah masa depan masih terbentang panjang, generasi masa kini pembuat jalan perintis jejak menyimpan harap, maka saya hanya yakin pada “PEMUDA LANGIT” yang membawa “
Revolusi Dari Langit” dengan harapan yang bukan angan-angan tapi kepastian janji dari Ilahi. Maka selamat datang REVOLUSI sebagai rahim ibu pertiwi yang akan melahirkan para negarawan yang berpandangan ke depan, punya nyali, dan paham benar apa makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebuah kemerdekaan yang diawali dengan …. ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.“….. kemerdekaan yang menjadi hak rakyat Indonesia, kemerdekaan yang melahirkan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan yang melahirkan masa depan syajaratin thayyibah atas dasar kalimatan thayibatan
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raf: 96)
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com
Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ( 1 )
Sebuah tulisan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di koran Republika (kolom Resonansi), edisi Selasa 15 Mei 2012 yang berjudul ” Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)” menarik untuk dibahas sebagai wacana pemikiran dan mengingat akan masa lalu tentang relasi Islam dan Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Tulisan lengkapnya saya copy paste disini :
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Islam diwakili tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak.
Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima.
Perdebatan antara golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila.
Gugatan ini sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal.
Pada era inilah, petarungan Islam dan Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika politik yang menyertainya.
Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi Indonesia.
Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
*****
Mengingat Riwayat Tujuh Kata
Dalam tulisan diatas Syafi’i Ma’arif menyampaikan : “demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus” , pertanyaanya apa betul pencoretan “tujuh kata” itu “demi persatuan bangsa” ? Fakta historis bahwa tarik ulur perdebatan pencoretan tujuh kata itu tidaklah sederhana dan bahkan dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.

Dalam biografi Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang ditulis Lukman Harun, tertera pada hari dan saat bersamaan, 18 Agustus 1945, Bung Karno minta Kasman melobi Hadikusumo. Bung Karno mengatakan kepada anggota PPKI itu, yang juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, usaha yang sama telah dicoba lewat Hasan, tapi tak berhasil. Baru setelah Kasman berbicara dengan Hadikusumo, sebagai sesama Muhammadiyah. persetujuan penghapusan tujuh kata itu dicapai. Mana yang benar? Hasan mengaku pernah menghubungi Kasman. beberapa tahun lalu, untuk menjelaskan soal ini. Menurut Hasan. Kasman berkata, ”Benar, Saudara meyakinkan dia (Ki Bagus Hadikusumo) dalam bahasa Indonesia, saya meyakinkan dia dalam bahasa Jawa.”
Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Ini artinya bahwa kalangan Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). (Lihat “Riwayat Tujuh Kata“)
Lalu siapa yang menginginkan “pencoretan tujuh kata” demi persatuan bangsa ? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen lah yang sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?
”Jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Paragraf diatas adalah kutipan Pidato Mr Kasman Singodimejo di Majelis Konsituante “Menuntut pelaksanaan Gentlement Agreement” yang dijanjikan “Soekarno” (lihat ” Mitos Konstituante“) yang tetap teguh mencinta-citakan Islam sebagai dasar negara. Sehingga menjadi pertanyaan pula atas tulisan Syafi’i Ma’arif : “Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu“. Betulkah Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “kesulitan konstitusional” ataukah “keteguhan” pendirian Bung Karno yang tidak menginginkan Islam sebagai dasar negara? ….
Paragraf penutup (yang mungkin masih bersambung) dari tulisan Syafi’i Ma’arif diatas : “Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu“. Betulkah Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat?

Kiranya Cerita Kasman Singodimejo dalam memoirnya Hidup itu Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, memberi sedikit jawaban sejarah. Beliau menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif tentang “sejarah kesengajaan” dan “sejarah kecelakaan”, maka bila mungkin sekarang terjadi “persahabatan” Islam dan Pancasila dalam konteks sejarah adalah sebuah “persahabatan kecelakaan” bukan “persahabatan kesengajaan” …. dan sangat mungkin untuk perbaikan demi masa depan. Maka pertarungan ideologi seyogyanya tak perlulah tuk di akhiri dan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri…….
Tambahan Referensi : Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta, Oleh: Artawijaya
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com
Saat Islam dan Pancasila Sudah Bersahabat (1)
Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Islam diwakili tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau tidak.
Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima.
Perdebatan antara golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, dengan sila-silanya sebagai berikut:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 Agustus inilah yang kita gunakan sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila.
Gugatan ini sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto sebagai penguasa tunggal.
Pada era inilah, petarungan Islam dan Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika politik yang menyertainya.
Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi Indonesia.
Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
*****
Mengingat Riwayat Tujuh Kata
Dalam tulisan diatas Syafi’i Ma’arif menyampaikan : “demi persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus” , pertanyaanya apa betul pencoretan “tujuh kata” itu “demi persatuan bangsa” ? Fakta historis bahwa tarik ulur perdebatan pencoretan tujuh kata itu tidaklah sederhana dan bahkan dalam bukunya, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.

Dalam biografi Hidup itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang ditulis Lukman Harun, tertera pada hari dan saat bersamaan, 18 Agustus 1945, Bung Karno minta Kasman melobi Hadikusumo. Bung Karno mengatakan kepada anggota PPKI itu, yang juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, usaha yang sama telah dicoba lewat Hasan, tapi tak berhasil. Baru setelah Kasman berbicara dengan Hadikusumo, sebagai sesama Muhammadiyah. persetujuan penghapusan tujuh kata itu dicapai. Mana yang benar? Hasan mengaku pernah menghubungi Kasman. beberapa tahun lalu, untuk menjelaskan soal ini. Menurut Hasan. Kasman berkata, ”Benar, Saudara meyakinkan dia (Ki Bagus Hadikusumo) dalam bahasa Indonesia, saya meyakinkan dia dalam bahasa Jawa.”
Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Ini artinya bahwa kalangan Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). (Lihat “Riwayat Tujuh Kata“)
Lalu siapa yang menginginkan “pencoretan tujuh kata” demi persatuan bangsa ? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen lah yang sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Islam dan Pancasila : Betulkah Bersahabat ?
”Jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Paragraf diatas adalah kutipan Pidato Mr Kasman Singodimejo di Majelis Konsituante “Menuntut pelaksanaan Gentlement Agreement” yang dijanjikan “Soekarno” (lihat ” Mitos Konstituante“) yang tetap teguh mencinta-citakan Islam sebagai dasar negara. Sehingga menjadi pertanyaan pula atas tulisan Syafi’i Ma’arif : “Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang “memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal itu“. Betulkah Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “kesulitan konstitusional” ataukah “keteguhan” pendirian Bung Karno yang tidak menginginkan Islam sebagai dasar negara? ….
Paragraf penutup (yang mungkin masih bersambung) dari tulisan Syafi’i Ma’arif diatas : “Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi, ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu“. Betulkah Islam dan Pancasila telah sangat bersahabat?

Kiranya Cerita Kasman Singodimejo dalam memoirnya Hidup itu Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, memberi sedikit jawaban sejarah. Beliau menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif tentang “sejarah kesengajaan” dan “sejarah kecelakaan”, maka bila mungkin sekarang terjadi “persahabatan” Islam dan Pancasila dalam konteks sejarah adalah sebuah “persahabatan kecelakaan” bukan “persahabatan kesengajaan” …. dan sangat mungkin untuk perbaikan demi masa depan. Maka pertarungan ideologi seyogyanya tak perlulah tuk di akhiri dan biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri…….
Tambahan Referensi : Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta, Oleh: Artawijaya
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com
Jumat, 03 Agustus 2012
Daftar Lagu Anak Di Indonesia Yang Menyesatkan
Ternyata lagu anak-anak yang populer dan banyak dilagukan sebagai pengantar tidur di sebagian besar masyarakat indonesia, diketahui mengandung banyak kesalahan, mengajarkan kerancuan, dan menurunkan motivasi. Berikut buktinya:
1. “Aku seorang kapiten… mempunyai pedang panjang… kalo berjalan prok..prok.. prok… aku seorang kapiten!” Perhatikan di bait pertama dia cerita tentang pedangnya, tapi di bait kedua dia cerita tentang sepatunya (inkonsistensi). Harusnya dia tetap konsisten, misal jika ingin cerita tentang sepatunya seharusnya dia bernyanyi : “mempunyai sepatu baja (bukan pedang panjang)… kalo berjalan prok..prok.. prok..” nah, itu baru klop! jika ingin cerita tentang pedangnya, harusnya dia bernyanyi : “mempunyai pedang panjang… kalo berjalan ndul..gondal. .gandul.. atau srek.. srek.. srek..” itu baru sesuai dg kondisi pedang panjangnya!
2. “Bangun tidur ku terus mandi.. tidak lupa menggosok gigi.. habis mandi ku tolong ibu.. membersihkan tempat tidurku..” Perhatikan setelah habis mandi langsung membersihkan tempat tidur. Lagu ini membuat anak-anak tidak bisa terprogram secara baik dalam menyelesaikan tugasnya dan selalu terburu-buru. Sehabis mandi seharusnya si anak pakai baju dulu dan tidak langsung membersihkan tempat tidur dalam kondisi basah dan telanjang!
3. “Naik-naik ke puncak gunung.. tinggi.. tinggi sekali.. kiri kanan kulihat saja.. banyak pohon cemara.. 2X” Lagu ini dapat membuat anak kecil kehilangan konsentrasi, semangat dan motivasi! Pada awal lagu terkesan semangat akan mendaki gunung yang tinggi tetapi kemudian ternyata setelah melihat jalanan yg tajam mendaki lalu jadi bingung dan gak tau mau ngapain, bisanya cuma noleh ke kiri ke kanan aja, gak maju2!
4. “Naik kereta api tut..tut..tut. . siapa hendak turut ke Bandung .. Surabaya .. bolehlah naik dengan naik percuma.. ayo kawanku lekas naik.. keretaku tak berhenti lama” Nah, yg begini ini yg parah! mengajarkan anak-anak kalo sudah dewasa maunya gratis melulu. Pantesan PJKA rugi terus! terutama jalur Jakarta- Bandung dan Jakarta-Surabaya!
5. “Di pucuk pohon cempaka.. burung kutilang berbunyi.. bersiul2 sepanjang hari dg tak jemu2.. mengangguk2 sambil bernyanyi tri li li..li..li.. li..li..” Ini juga menyesatkan dan tidak mengajarkan kepada anak2 akan realita yg sebenarnya. Burung kutilang itu kalo nyanyi bunyinya cuit..cuit.. cuit..! kalo tri li li li li itu bunyi kalo yang nyanyi orang, bukan burung!
6. “Pok ame ame.. belalang kupu2.. siang makan nasi, kalo malam minum susu..”
Ini jelas lagu dewasa dan untuk konsumsi anak2! karena yg disebutkan di atas itu adalah kegiatan orang dewasa, bukan anak kecil. Kalo anak kecil, karena belom boleh maem nasi, jadi gak pagi gak malem ya minum susu!
7. “nina bobo oh nina bobo kalau tidak bobo digigit nyamuk”
Anak2 indonesia diajak tidur dengan lagu yang “mengancam”
8. “Bintang kecil dilangit yg biru…”
Bintang khan adanya malem, lah kalo malem bukannya langit item?
9. “Ibu kita Kartini…harum namanya.”
Namanya Kartini atau Harum?
10. “Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. naik delman istimewa ku duduk di muka.”
Nah, gak sopan khan, masa duduk di kepala, dimukanya lagi
11. “Cangkul-cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung dikebun kita…”
kalo mau nanam jagung, ngapain nyangkul dalam-dalam,.
1. “Aku seorang kapiten… mempunyai pedang panjang… kalo berjalan prok..prok.. prok… aku seorang kapiten!” Perhatikan di bait pertama dia cerita tentang pedangnya, tapi di bait kedua dia cerita tentang sepatunya (inkonsistensi). Harusnya dia tetap konsisten, misal jika ingin cerita tentang sepatunya seharusnya dia bernyanyi : “mempunyai sepatu baja (bukan pedang panjang)… kalo berjalan prok..prok.. prok..” nah, itu baru klop! jika ingin cerita tentang pedangnya, harusnya dia bernyanyi : “mempunyai pedang panjang… kalo berjalan ndul..gondal. .gandul.. atau srek.. srek.. srek..” itu baru sesuai dg kondisi pedang panjangnya!
2. “Bangun tidur ku terus mandi.. tidak lupa menggosok gigi.. habis mandi ku tolong ibu.. membersihkan tempat tidurku..” Perhatikan setelah habis mandi langsung membersihkan tempat tidur. Lagu ini membuat anak-anak tidak bisa terprogram secara baik dalam menyelesaikan tugasnya dan selalu terburu-buru. Sehabis mandi seharusnya si anak pakai baju dulu dan tidak langsung membersihkan tempat tidur dalam kondisi basah dan telanjang!
3. “Naik-naik ke puncak gunung.. tinggi.. tinggi sekali.. kiri kanan kulihat saja.. banyak pohon cemara.. 2X” Lagu ini dapat membuat anak kecil kehilangan konsentrasi, semangat dan motivasi! Pada awal lagu terkesan semangat akan mendaki gunung yang tinggi tetapi kemudian ternyata setelah melihat jalanan yg tajam mendaki lalu jadi bingung dan gak tau mau ngapain, bisanya cuma noleh ke kiri ke kanan aja, gak maju2!
4. “Naik kereta api tut..tut..tut. . siapa hendak turut ke Bandung .. Surabaya .. bolehlah naik dengan naik percuma.. ayo kawanku lekas naik.. keretaku tak berhenti lama” Nah, yg begini ini yg parah! mengajarkan anak-anak kalo sudah dewasa maunya gratis melulu. Pantesan PJKA rugi terus! terutama jalur Jakarta- Bandung dan Jakarta-Surabaya!
5. “Di pucuk pohon cempaka.. burung kutilang berbunyi.. bersiul2 sepanjang hari dg tak jemu2.. mengangguk2 sambil bernyanyi tri li li..li..li.. li..li..” Ini juga menyesatkan dan tidak mengajarkan kepada anak2 akan realita yg sebenarnya. Burung kutilang itu kalo nyanyi bunyinya cuit..cuit.. cuit..! kalo tri li li li li itu bunyi kalo yang nyanyi orang, bukan burung!
6. “Pok ame ame.. belalang kupu2.. siang makan nasi, kalo malam minum susu..”
Ini jelas lagu dewasa dan untuk konsumsi anak2! karena yg disebutkan di atas itu adalah kegiatan orang dewasa, bukan anak kecil. Kalo anak kecil, karena belom boleh maem nasi, jadi gak pagi gak malem ya minum susu!
7. “nina bobo oh nina bobo kalau tidak bobo digigit nyamuk”
Anak2 indonesia diajak tidur dengan lagu yang “mengancam”
8. “Bintang kecil dilangit yg biru…”
Bintang khan adanya malem, lah kalo malem bukannya langit item?
9. “Ibu kita Kartini…harum namanya.”
Namanya Kartini atau Harum?
10. “Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. naik delman istimewa ku duduk di muka.”
Nah, gak sopan khan, masa duduk di kepala, dimukanya lagi
11. “Cangkul-cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung dikebun kita…”
kalo mau nanam jagung, ngapain nyangkul dalam-dalam,.
Sumber :http://www.zonaunik.com
Jumat, 27 Juli 2012
Inilah Tempat Persembunyian Terkonyol Dalam Sejarah Kejahatan
Sudah menjadi kebiasaan jika seorang pelaku kriminal akan bersembunyi dari pihak berwajib demi menghindari konsekuensi hukum yang akan diterimanya.
Koruptor contohnya, di Indonesia koruptor memiliki kebiasaan bersembunyi di luar negeri. Tengok saja kasus korupsi yang menimpa beberapa pejabat semisal Nazaruddin, Nunun Nurbaeti atau Gayus Tambunan. Mereka semuanya mencoba bersembunyi dengan cara melarikan diri ke luar negeri.
Terkait dengan masalah di atas, tidak semua pelaku kriminal memiliki kapasitas yang sama dengan mereka. Bahkan beberapa diantara tidak memiliki kepintaran yang cukup untuk menyembunyikan diri mereka dari kejaran polisi. Pasalnya tempat yang mereka pilih terbilang sangat aneh dan konyol.
Nah, berikut ini adalah contoh tempat persembunyian terkonyol yang dipilih oleh pelaku kriminal seperti yang dikutip dari Oddee.
1. Menyamar jadi bangku mobil

Foto yang satu ini diambil dari situs Daily Mail. Dalam laporannya, pria yang merupakan imigran asal Meksiko itu mencoba menyeberang ke Amerika Serikat secara ilegal. Yang menarik, demi mengelabui polisi perbatasan, sang pria rupanya mendapatkan ide cemerlang, bukan dengan bersembunyi di belakang kursi atau di bawahnya, tapi benar-benar menyamar menjadi kursinya. Rencana itu awalnya berjalan lancar sampai akhirnya polisi mengetahui.
2. Di dalam bagasi mobil hakim

Memang ini terdengar seperti membual, tapi kisah ini adalah sebuah fakta. Seorang pemuda berusia 16 tahun melarikan diri dari penjara pengadilan di Mount Clemens untuk kemudian bersembunyi di dalam sebuah bagasi mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat itu. Saat menemukan bagasi mobil tersebut tidak dikunci, sang bocah berkhayal dirinya akan melenggang bebas dengan aman. Namun impian itu buyar tatkala menyadari jika mobil yang ditumpanginya adalah mobil Peter Maroni (foto sebelah kanan), salah satu hakim yang juga bertugas di pengadilan tersebut.
3. Di dalam dashboard mobil

Untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, terkadang orang mampu berbuat sesuatu yang diluar dugaan. Contohnya, lagi-lagi yang dilakukan oleh wanita imigran gelap asal Meksiko ini. Ia tertangkap polisi perbatasan bersembunyi di balik dashboard mobil.
4. Menyamar jadi rumput


Well, yang satu ini bisa dibilang cukup taktis walaupun tidak terlalu cerdas. Gregory Liascos (foto paling atas) dituduh melakukan percobaan perampokan di sebuah museum batu dan mineral di Rice Northwest, Portland (foto bawah). Yang unik, saat kejahatannya diketahui, polisi sempat kesulitan menemukan tersangka sebelum akhirnya anjing pelacak menggigit sesuatu di tanah. Ya, pria berusia 36 tahun itu ternyata menyamar menjadi rumput menggunakan kostum kamuflase yang biasa digunakan oleh sniper untuk menyembunyikan diri dari pandangan musuh. Lucunya, kostum tersebut sebenarnya milik sang anak yang biasa diapakai untuk Halloween.
5. Sembunyi dalam lemari pakaian ibu

Ibu memang menjadi tempat yang pas untuk mengadu! Rupanya anggapan ini dipegang betul oleh Frederick Akeem Shuler, pemudah berusia 22 tahun asal Orangeburg. Di saat dirinya ketahuan menyimpan 143 gram ganja dan sebuah senjata ilegal. Ia melarikan diri ke kamar ibunya. Tetapi kali ini bukan untuk mengadu, melainkan untuk bersembunyi. Dan tempat paling pas menurutnya adalah lemari pakaian sang ibu. Makanya tidak butuh waktu lama bagi polisi menemukan keberadaannya.
6. Di bawah kap mesin mobil yang menyala

Ini yang paling ekstrim di antara semuanya. Bayangkan saja, pria ini rela bersembunyi di dalam kap mesin mobil yang notabene menyala. Tindakan nekat ini dilakukan oleh seorang imigran gelap di perbatasan antara Meksiko dan AS. Demikian seperti yang dilansir Daily Mail.
source: http://memobee.com
Koruptor contohnya, di Indonesia koruptor memiliki kebiasaan bersembunyi di luar negeri. Tengok saja kasus korupsi yang menimpa beberapa pejabat semisal Nazaruddin, Nunun Nurbaeti atau Gayus Tambunan. Mereka semuanya mencoba bersembunyi dengan cara melarikan diri ke luar negeri.
Terkait dengan masalah di atas, tidak semua pelaku kriminal memiliki kapasitas yang sama dengan mereka. Bahkan beberapa diantara tidak memiliki kepintaran yang cukup untuk menyembunyikan diri mereka dari kejaran polisi. Pasalnya tempat yang mereka pilih terbilang sangat aneh dan konyol.
Nah, berikut ini adalah contoh tempat persembunyian terkonyol yang dipilih oleh pelaku kriminal seperti yang dikutip dari Oddee.
1. Menyamar jadi bangku mobil
Foto yang satu ini diambil dari situs Daily Mail. Dalam laporannya, pria yang merupakan imigran asal Meksiko itu mencoba menyeberang ke Amerika Serikat secara ilegal. Yang menarik, demi mengelabui polisi perbatasan, sang pria rupanya mendapatkan ide cemerlang, bukan dengan bersembunyi di belakang kursi atau di bawahnya, tapi benar-benar menyamar menjadi kursinya. Rencana itu awalnya berjalan lancar sampai akhirnya polisi mengetahui.
2. Di dalam bagasi mobil hakim
Memang ini terdengar seperti membual, tapi kisah ini adalah sebuah fakta. Seorang pemuda berusia 16 tahun melarikan diri dari penjara pengadilan di Mount Clemens untuk kemudian bersembunyi di dalam sebuah bagasi mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat itu. Saat menemukan bagasi mobil tersebut tidak dikunci, sang bocah berkhayal dirinya akan melenggang bebas dengan aman. Namun impian itu buyar tatkala menyadari jika mobil yang ditumpanginya adalah mobil Peter Maroni (foto sebelah kanan), salah satu hakim yang juga bertugas di pengadilan tersebut.
3. Di dalam dashboard mobil
Untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, terkadang orang mampu berbuat sesuatu yang diluar dugaan. Contohnya, lagi-lagi yang dilakukan oleh wanita imigran gelap asal Meksiko ini. Ia tertangkap polisi perbatasan bersembunyi di balik dashboard mobil.
4. Menyamar jadi rumput
Well, yang satu ini bisa dibilang cukup taktis walaupun tidak terlalu cerdas. Gregory Liascos (foto paling atas) dituduh melakukan percobaan perampokan di sebuah museum batu dan mineral di Rice Northwest, Portland (foto bawah). Yang unik, saat kejahatannya diketahui, polisi sempat kesulitan menemukan tersangka sebelum akhirnya anjing pelacak menggigit sesuatu di tanah. Ya, pria berusia 36 tahun itu ternyata menyamar menjadi rumput menggunakan kostum kamuflase yang biasa digunakan oleh sniper untuk menyembunyikan diri dari pandangan musuh. Lucunya, kostum tersebut sebenarnya milik sang anak yang biasa diapakai untuk Halloween.
5. Sembunyi dalam lemari pakaian ibu
Ibu memang menjadi tempat yang pas untuk mengadu! Rupanya anggapan ini dipegang betul oleh Frederick Akeem Shuler, pemudah berusia 22 tahun asal Orangeburg. Di saat dirinya ketahuan menyimpan 143 gram ganja dan sebuah senjata ilegal. Ia melarikan diri ke kamar ibunya. Tetapi kali ini bukan untuk mengadu, melainkan untuk bersembunyi. Dan tempat paling pas menurutnya adalah lemari pakaian sang ibu. Makanya tidak butuh waktu lama bagi polisi menemukan keberadaannya.
6. Di bawah kap mesin mobil yang menyala
Ini yang paling ekstrim di antara semuanya. Bayangkan saja, pria ini rela bersembunyi di dalam kap mesin mobil yang notabene menyala. Tindakan nekat ini dilakukan oleh seorang imigran gelap di perbatasan antara Meksiko dan AS. Demikian seperti yang dilansir Daily Mail.
source: http://memobee.com
12 Patung Batang Pohon Yang Menakjubkan
16 Peringkat material termahal di dunia :
1. Forest Creatures by Tommy Craggs
I think the sclupture look like a dragon...
2. Louisville Lizard Chair
3. Lady of the Domaine les Boises Lee Farm
the sclupture describe about a lady who brings flowers..
4. Picnic Table by Scott Kuefler
5. Douglas by Tommy Craggs
6. Old Man in the Tree by Glenn Durlacher
7. Tree Trunk Arcade
8 Sacred Groves by Lea Turto
9. Mama’s Watching by Ken Davis
10. Detail of Carved Stump in Thailand
11. Amazing Carved Stump with Roots
12. Huge Benches Made from Recovered Elms
source: http://sibukforever.blogspot.com
Rabu, 25 Juli 2012
5 Gunung Angker Di Indonesia
Fenomena misteri tentang Gunung angker memang selalu saja menakutkan , dan beberapa waktu yang lalu salah satunya yang menjadi korban gunung angker adalah pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak sampai saat ini masih menjadi misteri apa penyebap pesawat itu sampai jatuh ada dugan bahwa pesawat Sukhoi superjet itu jatuh akibat keangkeran dari Gunung Salak yang memancarkan aura mistis.
Aura mistis sangat kental di kawasan Gunung Salak, ternyata selain gunung Salak di Indonesia ini masih ada beberapa Gungung yang di anggap angker dan memacarkan aura mistis oleh masyarakat kamu mau tahu gunung apa aja itu simak 5 Gunung paling angker di Indonesia berikut ini seperti di kutip dari okezone.com.
1. Gunung Salak, Jawa Barat
Gunung yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 ini dikenal sebagai tempat yang menyimpan banyak misteri. Pesawat Sukhoi yang jatuh pada 9 Mei 2012 bukanlah pesawat pertama yang jatuh di gunung ini. Sebelumnya, sudah ada enam kali pesawat jatuh di kawasan Gunung Salak.
Gunung yang menjadi wisata pendakian ini juga kerap menuai kisah misteri dari para pendakinya. Banyak pendaki yang mendengar suara gamelan atau bahkan hingga melihat penampakan mahluk halus saat mendaki Gunung Salak. Bahkan, tidak sedikit pendaki yang hilang di Gunung Salak.
Selain pendakian, tempat wisata lain di Gunung Salak juga dianggap mistis, contoh Kawah Ratu dan Curug Seribu yang juga banyak menelan korban. Tak sedikit wisatawan tewas karena keracunan belerang di Kawah Ratu atau tenggelam saat berenang di kolam Curug Seribu. Hal ini mengundang banyak cerita misteri di Gunung Salak.
2. Gunung Halimun, Jawa Barat
Gunung Halimun merupakan gunung yang terletak di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Gunung dengan ketinggian sekira 1.925 mdpl ini dikelilingi oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di sebelah timur gunung ini terdapat Gunung Salak.
Di wilayah sekitar Halimun Bogor dan sekitarnya ada benteng-benteng milik Prabu Siliwangi yang tak kelihatan, pusat kerajaan ada di Gunung Salak, sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum.
Catatan sejarah soal Kerajaan Siliwangi pasca kehancurannya setelah diserang Kesultanan Banten pada 1620-an. Konon, ratusan macan gembong atau harimau bertempat tinggal di sebuah bangunan dekat Kebun Raya Bogor sekarang.
Selain itu, ditemukan rawa berisi badak di sekitar Sawangan. Tempat ini dahulunya dinamakan Rawa Badak, dimana di bagian ujungnya ditemukan situs parit dan bekas tembok keraton yang dijadikan sarang macan. Kini, sarang macan ini dikenal pertigaan beringin di Sawangan. Selain catatan-catatan arkeologi, ada catatan mistis tentang segitiga Bogor.
Sisa-sisa dari Laskar Perang Bubat melarikan diri ke Gunung Salak, sementara sisa-sisa dari punggawa Siliwangi yang diserang Banten lari ke Gunung Halimun. Tempat dimana seringnya pesawat menghilang ini mirip Segitiga Bermuda dan Segitiga Formosa.
Gunung Halimun dan Gunung salak mirip Gunung Lawu yang disucikan Majapahit; tak boleh ada yang melintasi diatasnya, burungpun bisa mati bila melewati satu titik tanah yang sakral.
3. Gunung Lawu, perbatasan Jawa Tengah & Jawa Timur
Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api “istirahat” dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air dan belerang.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, yakni Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.
Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit, yakni Candi Sukuh dan Candi Cetho.
Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran, yaitu Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, pemakaman untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Gunung Lawu menyimpan sejumlah teka-teki yang hingga kini masih menjadi misteri, terutama pada tiga puncak utamanya yang menjadi tempat penuh mitos bagi masyarakat Jawa. Puncak Hargo Dalem diyakini sebagai tempat pemusnahan diri Raja Majapahit Prabu Brawijaya Pamungkas. Sementara, Harga Dumilah merupakan lokasi penuh misteri yang menjadi tempat olah batin dan bersemedi.
Gunung Lawu disebut-sebut sebagai pusat kegiatan spiritual di Tanah jawa, yang bertalian erat dengan budaya dan tradisi Keraton Yogyakarta. Tak heran, setiap orang yang hendak melakukan pendakian ke puncak Gunung Lawu harus memahami dan mematuhi segala larangan. Jika melanggar, maka orang tersebut diyakini akan celaka saat mendaki Gunung Lawu.
4. Gunung Ceremai, Jawa Barat
Gunung Ceremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 meter. Pada ketinggian sekira 2.900 meter dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.
Gunung Ciremai dengan jalur mautnya dan seringnya jatuh korban dari para pendaki ternyata menimbulkan berbagai kisah menyeramkan. Beberapa kawasan di gunung ini diceritakan memiliki aura mistik yang kental. Salah satunya situs Kuburan Kuda, yang merupakan kuburan kdua tentara Jepang di masa penjajahan. Jika melewati daerah ini sering terdengar ringkikan kuda tanpa ada wujudnya.
Ada pula Situs Papa Tere, yang dianggap angker karena pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang anak oleh ayah tirinya. Situs Sangga Buana dan Pengasungan juga dikabarkan angker karena sering terdengar derap langkah kaki para serdadu Jepang. Menurut cerita, tempat ini dulunya menjadi tempat pembuangan tawanan perang dari Indonesia.
5. Gunung Merapi, Yogyakarta
Gunung Merapi adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat.
Selain itu, Gunung Merapi juga dipercaya sebagai tempat keraton makhluk halus. Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram memperoleh kemenangan dalam perang melawan kerajaan Pajang dengan bantuan penguasa Merapi. Gunung Merapi meletus hingga menewaskan pasukan tentara Pajang, sisanya lari pontang-panting ketakutan. Penduduk yakin bahwa Gunung Merapi selain dihuni oleh manusia juga dihuni oleh makhluk- makhluk lainnya yang mereka sebut sebagai bangsa alus atau makhluk halus.
Tempat-tempat yang paling angker di Gunung Merapi adalah kawah Merapi sebagai istana dan pusat keraton makhluk halus Gunung Merapi. Di bawah puncak Gunung Merapi ada daerah batuan dan pasir yang bernama “Pasar Bubrah” yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat yang sangat angker. “Pasar Bubrah” tersebut dipercaya masyarakat sebagai pasar besar Keraton Merapi dan pada batu besar yang berserakan di daerah itu dianggap sebagai warung dan meja kursi makhluk halus.
Sumber : http://jurukunci4.blogspot.com
Aura mistis sangat kental di kawasan Gunung Salak, ternyata selain gunung Salak di Indonesia ini masih ada beberapa Gungung yang di anggap angker dan memacarkan aura mistis oleh masyarakat kamu mau tahu gunung apa aja itu simak 5 Gunung paling angker di Indonesia berikut ini seperti di kutip dari okezone.com.
1. Gunung Salak, Jawa Barat
Gunung yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 ini dikenal sebagai tempat yang menyimpan banyak misteri. Pesawat Sukhoi yang jatuh pada 9 Mei 2012 bukanlah pesawat pertama yang jatuh di gunung ini. Sebelumnya, sudah ada enam kali pesawat jatuh di kawasan Gunung Salak.
Gunung yang menjadi wisata pendakian ini juga kerap menuai kisah misteri dari para pendakinya. Banyak pendaki yang mendengar suara gamelan atau bahkan hingga melihat penampakan mahluk halus saat mendaki Gunung Salak. Bahkan, tidak sedikit pendaki yang hilang di Gunung Salak.
Selain pendakian, tempat wisata lain di Gunung Salak juga dianggap mistis, contoh Kawah Ratu dan Curug Seribu yang juga banyak menelan korban. Tak sedikit wisatawan tewas karena keracunan belerang di Kawah Ratu atau tenggelam saat berenang di kolam Curug Seribu. Hal ini mengundang banyak cerita misteri di Gunung Salak.
2. Gunung Halimun, Jawa Barat
Gunung Halimun merupakan gunung yang terletak di antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Gunung dengan ketinggian sekira 1.925 mdpl ini dikelilingi oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Di sebelah timur gunung ini terdapat Gunung Salak.
Di wilayah sekitar Halimun Bogor dan sekitarnya ada benteng-benteng milik Prabu Siliwangi yang tak kelihatan, pusat kerajaan ada di Gunung Salak, sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum.
Catatan sejarah soal Kerajaan Siliwangi pasca kehancurannya setelah diserang Kesultanan Banten pada 1620-an. Konon, ratusan macan gembong atau harimau bertempat tinggal di sebuah bangunan dekat Kebun Raya Bogor sekarang.
Selain itu, ditemukan rawa berisi badak di sekitar Sawangan. Tempat ini dahulunya dinamakan Rawa Badak, dimana di bagian ujungnya ditemukan situs parit dan bekas tembok keraton yang dijadikan sarang macan. Kini, sarang macan ini dikenal pertigaan beringin di Sawangan. Selain catatan-catatan arkeologi, ada catatan mistis tentang segitiga Bogor.
Sisa-sisa dari Laskar Perang Bubat melarikan diri ke Gunung Salak, sementara sisa-sisa dari punggawa Siliwangi yang diserang Banten lari ke Gunung Halimun. Tempat dimana seringnya pesawat menghilang ini mirip Segitiga Bermuda dan Segitiga Formosa.
Gunung Halimun dan Gunung salak mirip Gunung Lawu yang disucikan Majapahit; tak boleh ada yang melintasi diatasnya, burungpun bisa mati bila melewati satu titik tanah yang sakral.
3. Gunung Lawu, perbatasan Jawa Tengah & Jawa Timur
Gunung Lawu (3.265 m) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api “istirahat” dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air dan belerang.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, yakni Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.
Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit, yakni Candi Sukuh dan Candi Cetho.
Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran, yaitu Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, pemakaman untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Gunung Lawu menyimpan sejumlah teka-teki yang hingga kini masih menjadi misteri, terutama pada tiga puncak utamanya yang menjadi tempat penuh mitos bagi masyarakat Jawa. Puncak Hargo Dalem diyakini sebagai tempat pemusnahan diri Raja Majapahit Prabu Brawijaya Pamungkas. Sementara, Harga Dumilah merupakan lokasi penuh misteri yang menjadi tempat olah batin dan bersemedi.
Gunung Lawu disebut-sebut sebagai pusat kegiatan spiritual di Tanah jawa, yang bertalian erat dengan budaya dan tradisi Keraton Yogyakarta. Tak heran, setiap orang yang hendak melakukan pendakian ke puncak Gunung Lawu harus memahami dan mematuhi segala larangan. Jika melanggar, maka orang tersebut diyakini akan celaka saat mendaki Gunung Lawu.
4. Gunung Ceremai, Jawa Barat
Gunung Ceremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 meter. Pada ketinggian sekira 2.900 meter dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.
Gunung Ciremai dengan jalur mautnya dan seringnya jatuh korban dari para pendaki ternyata menimbulkan berbagai kisah menyeramkan. Beberapa kawasan di gunung ini diceritakan memiliki aura mistik yang kental. Salah satunya situs Kuburan Kuda, yang merupakan kuburan kdua tentara Jepang di masa penjajahan. Jika melewati daerah ini sering terdengar ringkikan kuda tanpa ada wujudnya.
Ada pula Situs Papa Tere, yang dianggap angker karena pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang anak oleh ayah tirinya. Situs Sangga Buana dan Pengasungan juga dikabarkan angker karena sering terdengar derap langkah kaki para serdadu Jepang. Menurut cerita, tempat ini dulunya menjadi tempat pembuangan tawanan perang dari Indonesia.
5. Gunung Merapi, Yogyakarta
Gunung Merapi adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat.
Selain itu, Gunung Merapi juga dipercaya sebagai tempat keraton makhluk halus. Panembahan Senopati pendiri kerajaan Mataram memperoleh kemenangan dalam perang melawan kerajaan Pajang dengan bantuan penguasa Merapi. Gunung Merapi meletus hingga menewaskan pasukan tentara Pajang, sisanya lari pontang-panting ketakutan. Penduduk yakin bahwa Gunung Merapi selain dihuni oleh manusia juga dihuni oleh makhluk- makhluk lainnya yang mereka sebut sebagai bangsa alus atau makhluk halus.
Tempat-tempat yang paling angker di Gunung Merapi adalah kawah Merapi sebagai istana dan pusat keraton makhluk halus Gunung Merapi. Di bawah puncak Gunung Merapi ada daerah batuan dan pasir yang bernama “Pasar Bubrah” yang oleh masyarakat dipercaya sebagai tempat yang sangat angker. “Pasar Bubrah” tersebut dipercaya masyarakat sebagai pasar besar Keraton Merapi dan pada batu besar yang berserakan di daerah itu dianggap sebagai warung dan meja kursi makhluk halus.
Sumber : http://jurukunci4.blogspot.com
Makna Tulisan Jawa

Dikalangan spiritual JAWA ,Tokoh wayang SEMAR ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeESA-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah
Religius dan ber keTUHAN-an YANG MAHA ESA. SEMAR dalam bahasa JAWA (filosofi JAWA) disebut BADRANAYA
BEBADRA = Membangun sarana dari dasar
NAYA = Nayaka = Utusan Mangrasul
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah ALLAH demi kesejahteraan manusia
Javanologi : SEMAR = Haseming samar-samar
Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan
SEMAR tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangankirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol SANG MAHA TUNGGAL". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili SEMAR adalah sebagai lurah KARANG DEMPEL / (karang = gersang), dempel = keteguhan jiwa.
Rambut SEMAR "kuncung" (Jarwadasa / Pribahasa JAWA kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. SEMAR sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda ILAHI.
SEMAR barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang KHALIQ ), YANG MAHA PENGASIH serta penyayang umat".Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia), agar memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok SEMAR adalah
1.SEMAR berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
2. SEMAR tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
3. SEMAR berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
4. SEMAR berprofil berdiri sekaligus jongkok
5. SEMAR tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan JAWA telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap ALLAH YANG MAHA ESA, yaitu adanya wujud tokoh wayang SEMAR, jauh sebelum masuknyakebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah JAWA.
Dari tokoh SEMAR wayang ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan JAWA.
SEMAR (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.Gambar kaligrafi JAWA tersebut bermakna :Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardikaartinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah olehhawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia JAWA yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ingkadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam mengujibudi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkanhawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".
Sumber : http://aguswahyudicc.blogspot.com
Langganan:
Komentar (Atom)

